Laporkan Masalah

SISTEM KOMUNIKASI HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PASCA ORDE BARU (Studi Pembingkaian Isu HAM Sipil Politik pada Kompas dan Koran Tempo dalam Perspektif Sistem Komunikasi Tahun 1998-2019)

SENJA YUSTITIA, Prof. Nunung Prajarto, M.A., Ph.D.

2023 | Disertasi | DOKTOR ILMU KOMUNIKASI

Media adalah ruang yang penting dalam pembentukan sebuah diskursus, termasuk dalam isu hak asasi manusia karena mampu memproduksi ide lintas generasi melalui bingkai yang seringkali digunakan sebagai pijakan interpretasi publik atas realitas tertentu. Di Indonesia dinamika isu HAM menarik untuk diikuti karena masih banyaknya permasalahan HAM yang tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan. Performa media dalam menciptakan kepekaan moral publik juga selalu dipertanyakan khususnya pada isu sipil dan politik. Rumusan masalah utama riset ini adalah bagaimana autopoeisis media Kompas dan Koran Tempo pada isu HAM di Indonesia pasca Orde Baru. Sedangkan pertanyaan penelitiannya terbagi ke dalam tiga bagian. Yakni bagaimana seleksi informasi, evolusi pembingkaian media pada isu hak sipil dan politik serta differensiasi fungsional media yang dikembangkan pada Kompas dan Koran Tempo dalam menghadapi isu HAM sipil-politik di Indonesia pasca Orde Baru (1998-2019). Studi ini tidak fokus pada peristiwa tertentu melainkan melihat tema HAM secara umum.

Dalam rangka menjawab rumusan masalah, maka riset ini menggunakan metode kualitatif yakni analisis teks, wawancara serta penelusuran dokumen terkait. Pada analisis teks, peneliti menggunakan elemen framing dengan model analisis strategic frame analysis (SFA) pada 241 teks berita.  Pada akhirnya, seluruh hasil penelitian dianalisis menggunakan teori sistem dan teori framing.

Hasil penelitian memperlihatkan autopoesis Kompas dan Koran Tempo secara sistemik dikendalikan oleh adanya keterbatasan teknis dan jati diri media yang terinternalisasi. Kompas menggunakan prinsip humanisme transedental. Sedangkan Koran Tempo memposisikan dirinya sebagai alat kontrol, edukasi dan human right defender.  Hal ini diimplementasikan keduanya dalam melakukan seleksi informasi. Kompas menggunakan selektor kunci nilai “keindonesiaan” dan “kemanusiaan” sedangkan Koran Tempo menggunakan aspek magnitude selain selektor umum diterapkan pada media. Mekanisme seleksi informasi yang kedua adalah penggunaan news peg. Sementara itu, situasi non-HAM yang cukup mewarnai adalah terbatasnya jumlah jurnalis sekaligus tingginya turn over pekerja media sehingga membuat keduanya tidak memiliki rubrik atau desk liputan khusus HAM. Hal di atas turut mewarnai konstruksi realitas isu HAM sepanjang tahun 1998 – 2019. Ada enam bingkai yang digunakan dalam membingkai isu HAM. Pertama, isu HAM dibingkai sebagai tanggung jawab pihak tertentu khususnya pemerintah. Kedua, isu HAM dibingkai sebagai bagian dari amanat dan cita-cita reformasi. Ketiga, isu HAM dibingkai sebagai polarisasi. Keempat, isu HAM dibingkai sebagai beban bangsa. Kelima, isu HAM dibingkai sebagai hak dasar yang belum terpenuhi. Keenam, isu HAM juga dibingkai melalui konteks yang lebih luas. Evolusi bingkai menunjukkan bahwa terdapat bingkai yang cenderung stagnan, berkembang ataupun muncul dan hilang. Konstruksi realitas dan differensiasi fungsional yang lebih banyak diwarnai oleh proses adaptasi variasi serta kompleksitas lingkungan non-HAM membuat media belum mampu menghasilkan iritasi yang bermakna melalui keberagaman dan kedalaman wacana isu HAM sipil dan politik.

Media is an important space in the formation of a discourse, including in human rights issues because it is able to produce ideas across generations through frames that are often used as the basis for public interpretation of certain realities. In Indonesia, the dynamics of human rights issues are interesting to follow because there are still many human rights problems that cannot be resolved in one period of government. The media’s performance in creating public moral sensitivity is also always questioned, especially on civil and political issues. The main problem of this research is how the media autopoeisis of Kompas and Koran Tempo on human rights issues in Indonesia after the New Order. While the research questions are divided into three parts. Namely, how is the selection of information, the evolution of media framing on civil and political rights issues and the functional differentiation of media developed in Kompas and Koran Tempo in dealing with civil and political human rights issues in post-New Order Indonesia (1998-2019).

In order to answer the formulation of the problem, this research uses qualitative methods, namely text analysis, interviews and related document searches. In the text analysis, researchers used framing elements with the strategic frame analysis (SFA) model on 241 news texts.  In the end, all research results were analyzed using system theory and framing theory.          

The results show that the autopoesis of Kompas and Koran Tempo is systemically controlled by technical limitations and internalized media identity. Kompas uses the principle of transedental humanism. Meanwhile, Koran Tempo positions itself as a tool of control, education and human rights defender.  This is implemented by both in selecting information. Kompas uses the key selectors of “Indonesianness” and “humanity” while Koran Tempo uses the magnitude aspect in addition to the general selectors applied to the media. The second information selection mechanism is the use of a news peg. Meanwhile, the non-Human Rights situation that is quite coloring is the limited number of journalists as well as the high turnover of media workers, so that both of them do not have a special human rights rubric or coverage desk. It is also colored the construction of the reality of human rights issues throughout 1998 - 2019. There are six frames used in framing human rights issues. First, human rights issues are framed as the responsibility of certain parties, especially the government. Second, human rights issues are framed as part of the mandate and ideals of reform. Third, human rights issues are framed as polarization. Fourth, human rights issues are framed as the burden of the nation. Fifth, human rights issues are framed as unfulfilled basic rights. Sixth, human rights issues are also framed through a broader context. The evolution of frames shows that there are frames that tend to stagnate, develop or appear and disappear. The construction of reality and functional differentiation that is more colored by the process of adaptation to variations and complexities of the non-Human Rights environment make the media unable to produce meaningful irritation through the diversity and depth of discourse on civil and political human rights issues.

Kata Kunci : bingkai, media, sistem, hak asasi manusia, evolusi, differensiasi

  1. S3-2023-468235-abstract.pdf  
  2. S3-2023-468235-bibliography.pdf  
  3. S3-2023-468235-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2023-468235-title.pdf