Konsep Gampong dalam permukiman adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
CHIATUDDIN, Ir. Sudaryono, M.Eng.,PhD
2004 | Tesis | Magister Perencanaan Kota dan DaerahDesa sebagai kesatuan masyarakat dalam struktur pemerintahan dan kekuasaan yang terendah, dalam pemahaman orang Aceh disebut gampong. Namun bila dicermati, gampong sebenarnya adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai wilayah kekuasaan serta kekayaan atau sumber pendapatan tersendiri. Bagi penduduknya, gampong merupakan ruang kehidupan, ruang sosial serta ruang hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep secara normatif di dalam permukiman adat di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengetahui sejauh manakah konsep tersebut telah mengalami pergeseran-pergeseran. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi sedangkan pendekatan studinya dilakukan secara deskriptif eksploratif, dengan menggunakan metode induktif. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan para tokoh-tokoh adat serta para pelaku aktivitas di gampong. Secara garis besar dari temuan penelitian empiris, terdapat dua buah type gampong: (1) gampong yang relatif masih terisolir; dan (2) gampong yang relatif terbuka. Pada gampong yang relatif terisolir masih tampak konsep asalnya, baik dalam pola pemukiman maupun fungsi-fungsi bangunan di dalamnya. Pada gampong ini, ikatan tradisionilnya menjadi lebih kuat, serta besarnya pengaruh dan kekuasaan dari unsur-unsur kepemimpinan gampong sebagai lembaga adat yang menjalankan fungsi meunasah. Pada gampong yang relatif terbuka, hal tersebut telah mengalami pergeseran-pergeseran. Akibat dari pengaruh perkembangan kota, maka ikatan tradisionilnya menjadi lemah. Pada gampong semacam ini nampak kedudukan tuha peut terdesak oleh kehadiran cerdik cendikiawan yang sering menggoyahkan kedudukan keuchik. Gampong pada konsep asalnya serta pada gampong yang terisolir, telah terdapat konsep yang terintegrasi dalam sistem koordinasi pengaturan dan pemanfaatan dari ruang dan wilayahnya serta terkandung prinsip-prinsip penataan suatu kawasan permukiman yang mandiri, dimana tanoh wakeuh dan tanoh umum pengunaannya diatur oleh keuchik sedangkan tanoh raja diatur oleh imeum mukim. Sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini ialah : (1) untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pada penataan dan pemanfaatan ruang wilayah di masa yang akan datang maka perlu ditinjau kembali penerapan konsep perencanaan yang selama ini berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, agar dapat lebih diterima dari aspek sosial dan budaya masyarakat setempat (2) perlunya dilakukan upaya-upaya untuk menghidupkan kembali fungsi meunasah, lembaga-lembaga adat di dalam struktur kelembagaan pemerintahan, terutama ditingkat bawah (gampong) serta kreatifitas didalam pengelolaan tanoh umum dan tanoh wakeuh sebagai kekayaan milik gampong, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemandirian gampong.
A village, as a community union within government administration structure and as the lowest power hierarchy, in the perspective of Aceh’s people, is called gampong. Gampong becomes the united of customary law community within the lowest power structure, which has its own territory and source of income or wealth. For its community, gampong means space of life, social space and space of regulation. The objective of this research is to describe the normative concept of traditional settlement in Naggroe Aceh Darussalam province and to identify how far the concept change. This research is conducted by using phenomenology approach, while the study approach is implemented in descriptive-explorative way, through inductive method. The data is gathered by doing deep interview with the custom leader and activity subject in gampong. In general, from the empirical research finding, there are two types of gampongs: (1) gampong that is relatively still isolated; and (2) gampong that is relatively open. The first gampong still show its traditional concept, which can be seen from its settlement pattern and even functions of the building within it. In this gampong, traditional tie is strong while the influence and power of gampong’s leadership components, as a custom body that hold the meunasah function, is also strong. In the relatively open gampong, the above item is shifting. As a consequence of urban development, the traditional tie is getting weak. In this type of gampong, the position of tuha peut is pushed by the existence of intellectual person that sometimes loose the position of keuchik. In gampong, at its first time, and in isolated gampong, there is a concept that has already integrated in coordination system of spatial arrangement and utilization. It has also principles of order for self-sustain settlement area, in which utilization of tanoh wakeuh and tanoh umum is regulated by keuchik, while the utilization of tanoh raja is regulated by imeum mukim. Recommendations of this research are: (1) to enhance efficiency and effectiveness of arrangement and utilization of the spatial area in the future period, the planning concept that used to be implemented in Nanggroe Aceh Darussalam province should be reviewed, in order to be accepted more by the respective society in socio-cultural aspect; (2) it is encouraged to have an efforts in rebuilding the function of meunasah, rebuilding the function of cultural bodies within government administration structure (mainly in low level / gampong), and also rebuilding the creativity of managing tanoh umum and tanoh wakeuh as a riches owned by gampong, in order to improve self-sustainability of managing the gampong.
Kata Kunci : Permukiman Adat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Konsep Gampong, Concept of gampong, Development of gampong concept, Open gampong and close / isolated gampong