Laporkan Masalah

Peninjauan Kembali Perkara Pidana Oleh Jaksa Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Ditinjau Dari Prinsip-Prinsip Peninjauan Kembali Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

AHMAD GAZALI, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum.

2023 | Tesis | S2 Magister Hukum Litigasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis ratio legis yang melatarbelakangi pengaturan kewenangan pengajuan peninjauan kembali perkara pidana oleh jaksa dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 dan kesesuaian wewenang tersebut dengan prinsip-prinsip Peninjauan kembali dalam KUHAP.


Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, dan pendekatan sejarah. Bahan penelitian berupa data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang didukung data primer berupa hasil wawancara dengan narasumber. Analisis data berupa analisis kualitatif secara deskriptif analitis.


Dalam penelitian ini diperoleh dua kesimpulan. Pertama, ratio legis pemberian kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali perkara pidana yakni (1) secara implisit telah ada pintu pembuka kewenangan Jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP; (2) dalam prakteknya sering terjadi kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menjatuhkan putusan, sehingga bersifat noneksekutorial; (3) sebagai implementasi prinsip equality of arms principle yakni persamaan kedudukan dan hak untuk melakukan upaya hukum yakni oleh terpidana dan ahli warisnya dengan Jaksa yang mewakili kepentingan negara dan korban tindak pidana; (4) norma yang dibentuk berbeda dengan norma yang telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak akan memberatkan/merugikan kepentingan terdakwa/terpidana dan terbatas pada kondisi yang menjadi prasyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP; (5) demi kepastian hukum kedudukan alat bukti dan penyelesaian perkara; (6) sebagai penyeleras antara UU Dilmil, UU Kejaksaan dan KUHAP. Namun ratio legis tersebut tidak tercermin secara eksplisit dalam ketentuan yang telah diundangkan sehingga ketentuan tersebut kehilangan jiwanya, menjadi rancu dan memunculkan ketidakpastian hukum. Kedua, Berdasarkan perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis terdapat keselarasan dan ketidakselarasan yang tampak jika disandingkan dengan kata kunci utamanya ratio legis pemberian kewenangan peninjauan kembali kepada Jaksa. Jika dimaknai sebagaimana ratio legis tersebut maka kewenangan tersebut sesuai dan tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip peninjauan kembali dalam KUHAP, maka berlaku sebaliknya jika tidak dimaknai sebagaimana ratio legis pemberian kewenangan kepada Jaksa tersebut akan tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Peninjauan kembali dalam KUHAP.

This study aims to find out and analyze the legal ratio behind the regulation of the authority to submit criminal case reviews by prosecutors in Law Number 11 of 2021 and the suitability of this authority with the principles of judicial review in the Criminal Procedure Code.

This type of research is descriptive normative legal research, using a statutory and historical approach. The research material is in the form of secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials, supported by primary data in the form of interviews with informants. Data analysis took the form of qualitative analysis using descriptive analysis.

In this study, two conclusions were drawn. First, the ratio legis of granting authority to the Prosecutor to submit a review of criminal cases, namely (1) implicitly there is an opening door for the Prosecutor's authority to submit a review as regulated in Article 263 paragraph (3) of the Criminal Procedure Code; (2 In practice, there is often an oversight/mistake by the judge in making a decision, so that the decision is non-executive; (3) as an implementation of the principle of equality of arms principle, namely equality of position and the right to take legal action, namely by convicts and their heirs with prosecutors representing the interests of the state and victims of crime; (4) the established norms are different from those that have been annulled by the Constitutional Court because they will not be burdensome/harmful to the interests of the accused/convicted and are limited to the conditions that are prerequisites as stipulated in Article 263 paragraph (3) of the Criminal Procedure Code; (5) for the sake of legal certainty regarding the position of evidence and settlement of cases; (6) as an alignment between the Dilmil Law, the Prosecutor's Law and the Criminal Procedure Code. However, the ratio legis is not reflected explicitly in the provisions that have been promulgated, so these provisions lose their soul, become ambiguous, and create legal uncertainty. Second, based on a philosophical, sociological, and juridical perspective, there is harmony and incongruity that can be seen when coupled with the main keyword ratio legis, the granting of judicial review authority to the Prosecutor. If it is interpreted as the ratio legis, then this authority is appropriate and will not conflict with the principles of judicial review in the Criminal Procedure Code, If it is not interpreted as the ratio legis, the granting of authority to the Prosecutor will be inappropriate and contrary to the principles of judicial review in the Criminal Procedure Code. 

Kata Kunci : Peninjauan Kembali, Jaksa, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  1. S2-2023-465646-abstract.pdf  
  2. S2-2023-465646-bibliography.pdf  
  3. S2-2023-465646-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2023-465646-title.pdf