Penelitian hukum ini bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis urgensi dan pertimbangan diberikannya kewenangan
kepada AFPI untuk mengatur suku bunga maksimal Fintech Peer to Peer Lending
dan apakah pemberian kewenangan tersebut kepada asosiasi dapat merugikan
konsumen.
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah yuridis normatif yang berfokus pada pendekatan
norma-norma hukum yang berlaku, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun
kepustakaan dan pendekatan komparatif dengan melakukan perbandingan pengaturan
dengan negara lain, yang didukung
dengan wawancara narasumber untuk memperkuat teori dalam penulisan
hukum ini.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa urgensi dan pertimbangan diberikannya kewenangan
kepada AFPI untuk mengatur suku bunga maksimal adalah: 1) OJK memiliki bidang
atau area lanskap pekerjaan yang banyak; 2) Peraturan OJK yang dibuat terlalu
detail justru akan terkesan rumit dan membingungkan; 3) Asosiasi memiliki
pengetahuan dan pengalaman terhadap pasar yang lebih baik sehingga dapat
dianggap sebagai pihak yang lebih paham dalam menyusun pedoman atau aturan.
Selanjutnya, pemberian kewenangan untuk
mengatur suku bunga maksimal Fintech Peer
to Peer Lending kepada asosiasi memiliki potensi dapat merugikan konsumen karena
bertentangan dengan aspek persaingan usaha, yang melarang para pelaku usaha
melakukan kesepakatan harga. Ketika perilaku asosiasi dalam menetapkan harga
tersebut dilakukan secara tidak benar, yang dilakukan semata-mata untuk
kepentingan para pelaku usaha itu sendiri, pasti dampaknya akan merugikan konsumen
karena konsumen tidak memiliki pilihan. Dalam hal ini, pengaturan terhadap batas maksimal
suku bunga perlu diatur secara tegas oleh otoritas yang berwenang, yaitu OJK
serta besaran batas maksimal perlu ditetapkan berdasarkan keuntungan yang wajar
bagi pelaku usaha dan juga dengan memperhatikan kemampuan membayar konsumen.
This legal research aims to understand and analyze
the urgency and considerations behind the granting authority to the AFPI to
regulate the maximum interest rates of Fintech Peer to Peer Lending, and
whether granting such authority to the association could be detrimental to
consumers.
The method used in this research is
juridical normative, which focuses on the approach of applicable legal norms,
both in legislation and literature, and a comparative approach by comparing the
regulations with other countries, which is supported by interviews with sources
to strengthen the theory in this legal writing.
The results showed that the urgency and
considerations given to granting authority to the AFPI to regulate the maximum
interest rates are: 1) OJK has a wide range of responsibilities and landscape
areas of work; 2) Detailed regulations created by the OJK may appear complex
and confusing; 3) The association has better knowledge and experience of the
market, making them more competent in formulating guidelines or rules. Furthermore,
granting authority to associations to regulate the maximum interest rates of
Fintech Peer to Peer Lending has the potential to harm consumers as it
contradicts the aspect of business competition, which prohibits business
entities from engaging in price fixing. When the association's behavior in
setting prices is done improperly, solely for the benefit of the business
entities themselves, it will undoubtedly disadvantage consumers as they will
have no choice. In this case, the regulation of maximum interest rate limits
needs to be established by the authorized authority strictly, namely OJK, and
the maximum limit should be determined based on reasonable profits for business
entities while considering consumer’s ability to repay.
Kata Kunci : Fintech Peer to Peer Lending, Asosiasi, Otoritas Jasa Keuangan, Perlindungan Konsumen