Mencari Patron: Gerakan "Ratu Adil" Mbah Wali di Karesidenan Kediri Pasca Tahun 1965-1980an
Kirana Ayu Putri Ocktavian, Dr. Sri Margana, M.Phil.
2023 | Skripsi | ILMU SEJARAH
Gerakan Mbah Wali di Karesidenan Kediri merupakan gerakan untuk mencari patron. Gerakan ini dipimpin oleh Mbah Wali, seorang spiritualis dan penganut kebatinan Jawa yang menginginkan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai patron mereka. Keinginannya untuk menjadikan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai patron terjadi pasca tahun 1965. Mbah Wali menghimpun massa gerakan dari korban konflik pasca tragedi G30S tahun 1965. Pada saat itu, kondisi sosial dan politik terjadi peristiwa pelarangan partai komunis di berbagai daerah karena pemerintah melancarkan kampanye untuk menghabisi sisa-sisa simpatisan komunis. Pembasmian ini berdampak pada kepercayaan kebatinan karena gerakan-gerakan yang muncul pada tahun 1965 seringkali diasosiasikan sebagai kemunculan kembali gerakan komunis. Sepanjang tahun 1960an-1980an terjadi perdebatan tentang aliran kepercayaan. Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian sejarah yang meliputi (1) penentuan tema; (2) pengumpulan sumber dan data (heuristik); (3) kritik (verifikasi); (4) intepretasi; dan (5) penulisan sejarah (historiografi). Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa gerakan Mbah Wali di Karesidenan Kediri muncul karena situasi sosial dan politik pasca tahun 1965, terutama karena isu pemberantasan komunisme dan penganut aliran kepercayaan. Pada gerakannya ini, Mbah Wali mengidentifikasi Sultan Hamengkubuwono IX sebagai tokoh yang melindungi eksistensi mereka, Hamengkubuono IX sebagai Sultan Yogyakarta dianggap sebagai sosok yang dapat melindungi masyarakat di sekitar Karesidenan Kediri karena daerah tersebut termasuk wilayah dalam Kasultanan Mataram pasca Perjanjian Giyanti.
Mbah Wali movement in Kediri Residency is a movement to find the patron. This movement was led by Mbah Wali, a spiritualist and Javanese abundant who wanted Sultan Hamengkubuwono IX as their patron. His desire to make Sultan Hamengkubuwono IX as Patron occurred after 1965. Mbah Wali collected the mass of the movement of the post-trafficity conflict of the G30S 1965. At the time, social and political conditions were being banned by the communist party project event in various regions because the government launched a campaign to abolish the remains of the communist sympathizers. This incident has an impact on the trust of abundance because the movements emerging in 1965 are often associated as the appearance of the communist movement. Throughout the 1960s-the 1980s there was a debate about the flow of trust. This research was made by historical research methods that include (1) the determination of themes; (2) collection of sources and data (heuristics); (3) criticism (verification); (4) intepretation; and (5) historical writing (historiography). From the research conducted, that the Mbah Wali movement in Kediri Residency arose due to the social and political situation of 1965, mainly due the issue of eradication of communism and the believers. In this movement, Mbah Wali identifies Sultan Hamengkubuwono IX as a protector of their existence. Hamengkubuwono IX as the Sultan Yogyakarta is considered a figure that can protect the community around Kediri Residency because the area is a part of Kasultanan Mataram after the Giyanti Agreement.
Kata Kunci : patron, gerakan Mbah Wali, Sultan Hamengkubuwono IX, Blitar, Karesidenan Kediri