Menyambung Rantai Kehidupan: Makna Klub Sepak Bola Bagi Brajamusti dan Maident Pasca Tragedi Kanjuruhan
Vakhri Risqi Zaniarta, Mubarika D.F. Nugraheni, S.Ant., M.A.
2023 | Skripsi | ANTROPOLOGI BUDAYA
Tragedi Kanjuruhan merupakan tragedi yang paling besar dalam sejarah sepak bola
Indonesia. Sebanyak 135 nyawa melayang akibat kerusuhan yang terjadi antara
suporter dan pihak keamanan, kerusuhan tersebut tentunya menjadi tanggung jawab
dari berbagai pihak yang terlibat dalam sepak bola Indonesia, seperti PSSI, panitia
penyelenggara, suporter, hingga pihak keamanan. Kerusuhan tersebut terjadi akibat
tidak adanya kerja sama yang baik antara pihak-pihak yang terlibat dalam
pertandingan. Kerusuhan tersebut juga menjadi pukulan telak bagi dunia sepak bola
Indonesia, berbagai efek dirasakan oleh klub, manajemen, pelatih, pemain, hingga para
suporter.
Tragedi Kanjuruhan membuat PSSI menghentikan aktivitas sepak bola di Indonesia,
baik itu Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Salah satu kelompok suporter yang merasakan efek
dari Tragedi Kanjuruhan adalah suporter PSIM Yogyakarta, yaitu Brajamusti dan
Maident. Kelompok suporter tersebut terpaksa menahan kerinduan mereka terhadap
suasana saat menonton sepak bola, mereka merindukan suasana saat berjalan menuju
stadion hingga merayakan dengan teman-teman saat PSIM berhasil mengalahkan
lawannya. Efek lain yang dirasakan Brajamusti dan Maident adalah berdamainya
dengan suporter PSS dan Persis Solo. Perdamaian tersebut dimulai pada saat adanya
doa bersama di Monumen Juang 45 yang akhirnya dilanjutkan pada doa bersama yang
dilaksanakan di Stadion Mandala Krida dan Stadion Maguwoharjo. Teknologi internet
juga memiliki peran yang besar dalam aksi damai ini karena berita perdamaian bisa
tersebar dengan cepat.
Hasil dari perdamaian tersebut adalah suporter PSIM dan suporter Persis Solo memiliki
hubungan yang lebih baik daripada sebelumnya. Setelah perdamaian ini tidak ada lagi
“Mataram is Blue” atau “Mataram is Red”, hanya “Mataram is Love” yang dimaknai
sebagai kalimat perdamaian bagi suporter PSIM dan suporter Persis Solo.
Penelitian ini juga menjelaskan makna klub sepak bola terutama PSIM bagi Brajamusti
dan Maident. Brajamusti dan Maident menganggap PSIM merupakan warisane simbah
yang diartikan sebagai peninggalan dari nenek moyang yang harus dijaga. Brajamusti
dan Maident menganggap PSIM sebagai representasi Kerajaan Mataram atau sekarang
lebih dikenal dengan Keraton Ngayogyakarta. Dalam lambang PSIM, jersey PSIM,
ritual sebelum memulai kompetisi, hingga julukan PSIM memiliki kaitan dengan
Kerajaan Mataram atau Keraton Ngayogyakarta.
The Kanjuruhan Tragedy is the largest tragedy in the history of Indonesian football. A
total of 135 lives were lost due to the riots that occurred between supporters and
security forces. The riots were undoubtedly the responssibility of various parties
involved in Indonesian football, such as the PSSI (Football Association of Indonesia),
the organizing committee, supporters, and even the security forces. The riots occurred
due to the lack of good cooperation among the parties involved in the match. The riots
also dealt a heavy blow to the world of Indonesian football, with various effects felt by
clubs, management, coaches, players, and supporters.
The Kanjuruhan tragedy has caused the PSSI to halt football activities in Indonesia,
including Liga 1, Liga 2, and Liga 3. One of the supporter groups that felt the effects
of the Kanjuruhan Tragedy was the PSIM Yogyakarta supporters, namely Brajamusti
and Maident. These supporter groups had to suppress their longing for the atmosphere
of watching football matches. They missed the atmosphere of walking towards the
stadium and celebrating with friends when PSIM successfully defeated their opponents.
Another effect experienced by Brajamusti and Maident was the reconciliation with
supporters of PSS and Persis Solo. This reconciliation began with a joint prayer at the
Juang 45 Monument, which was later followed by another joint prayer held at Mandala
Krida Stadium and Maguwoharjo Stadium. The internet technology also plays a
significant role in this peaceful action as news of the peace can spread quickly.
The result of the peace is that the supporters of PSIM and Persis Solo have a better
relationship than before. After this peace, there is no longer "Mataram is Blue" or
"Mataram is Red," only "Mataram is Love," which is interpreted as a sentence of peace
for PSIM and Persis Solo supporters.
This research also explains the significance of football, especially PSIM, for
Brajamusti and Maident. They consider PSIM as the legacy of their ancestors, which
is interpreted as an inheritance from their forefathers that must be protected. Brajamusti
and Maident view PSIM as a representation of the Mataram Kingdom, which is now
more commonly known as the Keraton Ngayogyakarta. The PSIM emblem, PSIM
jerseys, pre-competition rituals, and even the nickname of PSIM are all connected to
the Mataram Kingdom or the Keraton Ngayogyakarta.
Kata Kunci : Tragedi Kanjuruhan, Konflik, Interpretatif Simbolik