Laporkan Masalah

Upaya Dekolonisasi Pembangunan Negara melalui Perjuangan Hak atas Tanah Adat Masyarakat Adat: Studi Kasus di Indonesia (2009 - 2023)

Renova Zidane Aurelio, Dr. Randy Wirasta Nandyatama, S.I.P., M.Sc.

2023 | Skripsi | Ilmu Hubungan Internasional

Konflik agraria yang terjadi di Indonesia menunjukkan dualitas antara kebijakan pembangunan dan jaminan atas hak masyarakat adat. Runtuhnya rezim sentralistik Orde Baru dan keterlibatan Indonesia dalam penandatanganan UNDRIP terbukti belum mampu mengakomodasi masyarakat adat dalam kepemilikan tanah. Sebaliknya, praktik penyingkiran masyarakat adat melalui konversi dan integrasi tanah adat dalam rangka pembangunan justru semakin digalakkan. Nyatanya, hal tersebut bukan merupakan konsekuensi dari kebijakan yang serta-merta represif, melainkan terbentuk dalam tataran yang epistemik, yakni pelanggengan atas modernitas/kolonialitas. Reproduksi modernitas/kolonialitas oleh pemerintah Indonesia dilakukan melalui berbagai macam colonial matrix of power di bawah wacana “tanah untuk pembangunan ekonomi”. Melalui wacana tersebut, pemerintah Indonesia berusaha menampakkan pembangunan sebagai narasi keselamatan yang universal.

Namun, jahitan wacana “tanah untuk pembangunan ekonomi” yang rapuh menyebabkan terjadinya dislokasi yang tampak melalui konflik agraria. Lemahnya pengakuan terhadap tanah adat justru memunculkan antagonisme masyarakat adat untuk membentuk wacana tandingan, yakni “tanah untuk self-determination”. Wacana tandingan tersebut berupaya untuk mengambil jalan dekolonisasi dengan melakukan pelepasan secara epistemik dari modernitas/kolonialitas yang menjadi permasalahan mendasar dari universalitas pembangunan. Dekolonisasi diejawantahkan melalui proses delinking yang meliputi reproduksi pengetahuan soal tanah dan dekonstruksi politik sektoralisme yang tercermin dalam pengajuan RUU Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.

The agrarian conflicts that occurred in Indonesia reveal the duality between development policies and the assurance of indigenous people's rights. The downfall of the New Order's centralized regime and Indonesia's involvement in the signing of the UNDRIP have proven to be insufficient in accommodating indigenous peoples' land ownership. On the contrary, the practice of displacing indigenous peoples through the conversion and integration of indigenous lands for development purposes has been increasingly encouraged. In reality, this is not merely a consequence of immediately repressive policies but is informed within an epistemic realm, namely the perpetuation of modernity/coloniality. The Indonesian government's reproduction of modernity/coloniality is carried out through various colonial matrices of power under the discourse of 'land for economic development'. Through this discourse, the Indonesian government seeks to present development as a narrative of universal well-being. 

However, the fragile stitching of the 'land for economic development' discourse has led to dislocation, which is evident through agrarian conflicts. The weak recognition of indigenous lands actually generates antagonism among indigenous peoples to form a counter-discourse, namely 'land for self-determination.' This counter-discourse aims to take the path of decolonization by epistemically delinking from the modernity/coloniality that is the fundamental problem of development's universality. Decolonization is manifested through a process of delinking, which includes the reproduction of knowledge about land and the deconstruction of sectoral politics reflected in the submission of the RUU Masyarakat Hukum Adat in Indonesia.

Kata Kunci : tanah adat, pembangunan ekonomi, RUU masyarakat adat, dekolonialitas, analisis wacana

  1. S1-2023-446101-abstract.pdf  
  2. S1-2023-446101-bibliography.pdf  
  3. S1-2023-446101-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2023-446101-title.pdf