Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasiskan Adat dalam Pembangunan Berkelanjutan :: Studi Tentang Kampong Temawank pada Masyarakat Dayak Simpang, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat
ALIBATA, A, Prof.Dr. Sjafri Sairin
2003 | Tesis | Magister Administrasi PublikSejak tiga dasawarsa terakhir, isu lingkungan hidup telah menjadi isu global yang menarik perhatian banyak negara di seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia, isu lingkungan hidup telah menjadi fokus utama pembangunan sejak tahun 1978 ketika Indonesia memasuki Repelita III. Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa krisis lingkungan hidup terus menerus terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1987 yang terus berulang setiap musim kemarau; banjir dan tanah longsor yang terus berulang setiap musim penghujan akibat pembabatan hutan adalah contoh yang sangat jelas tentang krisis itu. Singkatnya, krisis lingkungan hidup telah terjadi dan akan terus menerus terjadi jika tidak direspon oleh masyarakat dan para stakeholders pembangunan secara cepat. Krisis lingkungan hidup di Indonesia yang terjadi selama ini tidak bisa dilepaskan dari kesalahan pemerintah dalam memilih model pembangunan (Keraf, 2002; Sumarwotto, 1991). Model pembangunan yang dijalankan selama ini terlalu memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi semata sehingga seringkali berbenturan dengan keadilan dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Bersamaan dengan itu, kekayaan alam yang ada selalu dilihat secara keliru, yakni hanya dilihat sebagai sumber daya ekonomi yang siap dieksploitasi untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini difokuskan untuk mencari alternatif pemecahan masalah-masalah lingkungan yang ada selama ini melalui partisipasi masyarakat adat (lokal). Untuk itu, penelitian ini mengangkat kasus kampong temawank, suatu bentuk pengelolaan lingkungan hidup berbasiskan masyarakat adat, yakni masyarakat adat Dayak Simpang. Secara khusus, penelitian ini bertujuan menjelaskan bagaimanakah kampong temawank itu dapat berfungsi dalam pembangunan berkelanjutan? Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai, “...as development that meet the needs of the present without compromising the ability of the future generation to meet their own needsâ€. Dari pengertian itu, tampak sekali bahwa tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah menjaga agar sumber daya (alam) yang ada sebagai impuls utama pembangunan tidak habis hanya karena pembangunan yang dilaksanakan sekarang ini. Dalam banyak literatur, para pakar paradigma pembangunan itu sepakat bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah paradigma yang berusaha mensinergikan, menyatukan, dan mengintegrasikan tiga aspek utama, yakni ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup dalam arus utama pembangunan. Artinya, paradigma ini tidak hanya berfokus pada keberlanjutan sumber daya alam semata, tetapi juga keberlanjutan sosial-budaya, dan lingkungan hidup. Dalam rangka desentralisasi, tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup berada pada pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota). Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah pusat hanya menangani bidang-bidang yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan, kehakiman, luar negeri, moneter, dan fiskal. Artinya, penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan merupakan kewenangan pemerintah daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus mampu membuat kebijakan-kebijakan di tingkat lokal yang pro lingkungan agar krisis lingkungan hidup dapat diatasi. Menurut tingkat eksplanasinya, penelitian ini adalah penelitian eksploratif dan deskriptif. Sedangkan berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian ini adalah penelitian etnografi. Lokasi penelitian berada di Masyarakat Adat Dayak Simpang, yang secara geografis menghuni kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Para informan adalah (1) pengurus lembaga adat pada masyarakat Dayak Simpang berjumlah 4 orang, (2) para tetua adat berjumlah 6 orang, dan (3) para pewaris dan/atau pemilik kampong temawank yang berjumlah 10 orang (keluarga). Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan cara participant observation (observasi pengikutsertaan) dan wawancara mendalam (indepth interview). Data yang diperoleh melalui penelitian ini dianalisis secara deskriptifkualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan kampong temawank “masyarakat adat†Dayak Simpang merupakan hasil pengetahuan asli masyarakat. Pengetahuan itu lahir dari kesadaran penuh “masyarakat adat†Dayak Simpang akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup bagi keberlanjutan kehidupan mereka. Kampong temawank yang lahir dari sebuah pengetahuan asli masyarakat tersebut diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Untuk menjaga keberlanjutan kampong temawank, “masyarakat adat†membangun sistem kepemilikan, pengelolaan, pengaturan dan sanksi. Sistem tersebut terbukti mampu menjaga keberlanjutan kawasan tersebut. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kampong temawank terbukti mampu menopang keberlanjutan ekonomi masyarakat adat Dayak Simpang. Hasil yang diambil dari kawasan itu secara signifikan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga. Selain itu, kampong temawank juga mampu menjaga keberlanjutan sosial-budaya dan keberlanjutan lingkungan biogeofisik “masyarakat adat†Dayak Simpang. Dalam hal keberlanjutan sosial budaya, ada empat budaya “masyarakat adat†Dayak Simpang yang akan punah atau lenyap begitu saja (ba bantant, ba sangkurung, ngalu bunga suat-mulang buah dan ba pantong ba lobor) jika kawasan kampong temawank sudah tidak ada lagi. Demikian juga halnya dengan keberlanjutan lingkungan biogeofisik. Kampong temawank mampu menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati; mencegah terjadinya bencana kekeringan, banjir, tanah longsor; dan menjaga kesejukan dan kesegaran udara.
In the latest three decades, the issue of living environment has invited the attention of many countries worldwide. While in Indonesia, the issue had become the main focus of development in 1978, when the third phase of five-year development plan (PELITA) began. Yet the crises of ecology, initially marked by the forest fire in 1987 which recurs every year in dried season, and the flood and landslides resulted from the deforestation, have become common phenomena in many parts of this country. The ecological crises, therefore, have come and will continue to come unless the stakeholders of development and society in general in this country attempt to prevent the further recurrence of the crisis. The crisis of ecology in Indonesia undoubtedly results from the model of development chosen and implemented by the government (Keraf, 2002; Sumarwoto, 1991). Government have focused mainly on economic growth to indicate the achievement of development. The growth priority when pursued very often violates the sense of justice of the majority of people and threatens the continuity of the process of development itself—natural sources are seen no more than economic resources to be exploited in order to increase the growth of economies. This research aims to find out an alternative of solutions for the ecological problems in this country, that is, alternative solution based on the participation of local community. Therefore, it seeks to study the case of kampong temawank, ecological management based on indigenous community of Dayak Simpang. This research in particular aims to explain how kampong temawank is in the context of sustainable development. Sustainable development is defined as “development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generation to meet their own need.â€This definition explicitly asserts that the fundamental reason for the sustainable development is to maintain the existing natural resources so that they will not become exhausted due to present development. In many literatures exponents of this development have agreed that the paradigm of sustainable development is one that attempts to integrate the three main aspects of economy, socio-cultural, and living environment as the mainstreams of development. In other words, this paradigm not only focuses on the sustainability of natural sources, but also on the sustainability of socio-culture and living environment. In the framework of decentralisation, the responsibility of environmental sustainability resides in the hand of local government (Residency and Municipality). Central government instead only handles the affairs of state defence and security, judiciary, foreign diplomacy, monetary, and fiscal, as stipulated in the legislation number 22 Tahun 1999. Therefore, local government has to create local policies in favour of the sustainability of living environment. In reference to the degree of its explanation, this research is explorative and descriptive, while it is ethnographic in methodology. This research takes indigenous community of Dayak Simpang, inhabiting northern part of Ketapang Residency of West Kalimantan, as research sample. Data are collected through the method of participatory observation and in-depth interview of informants that include (1) four people from custom institution of Dayak Simpang community, (2) six people of local elders, and (3) ten households of heirs of kampong temawank. The data gathered are processed and analysed in descriptive and qualitative manners. The result of research shows that kampong temawank of Dayak Simpang community is the indigenous knowledge of local people. This knowledge results from the full awareness of indigenous people of Dayak Simpang over the importance of ecological sustainability for the future of their life. Kampong temawank is passed over from one generation to another, and to maintain it indigenous people establish systems of ownership, regulation, management, and sanctions to any kinds of violating acts. This system proves effective in maintaining the sustainability of kampong temawank up to present day. In the context of sustainable development, kampong temawank proves effective to leverage the economic sustainability of indigenous society of Dayak Simpang. It produces outputs that significantly increase the income of households of indigenous people. Moreover, it also manages to sustain the socio-culture and bio-geo-physical environment of indigenous people of Dayak Simpang. In terms of socio-cultural sphere, four cultures of indigenous people of Dayak Simpang—ba bantant, ba sangkarung, ngalu bunga suat-mulang buah, and ba pantong ba lobor—will be vanished if kampong temawank disappears. In terms of bio-geo-physical environment sustainability, kampong temawank proves effective in sustaining the existence of diverse botanical environment so it prevents the evils of drought, flood, landslides, and provides healthy air.
Kata Kunci : Lingkungan Hidup,Pengelolaan Pemda TkII,Masyarakat Dayak Simpang