Politik Wacana Milajarra: Model Insulatif Hubungan Gereja dan Negara Di Sumba
Lasarus Umbu Labu Pinyawali, Profesor Purwo Santoso, Ph.D
2023 | Disertasi | S3 INTER-RELIGIOUS STUDIES
Ini adalah kajian politik wacana/etis agama, lebih tepatnya politik kesalehan dengan mencari model pewacanaan yang workable tentang relasi gereja dan negara, melalui kewarganegaraan jemaat. Model pewacanaan yang bergulir selama ini, terjebak dalam cangkang berpikir ‘gereja tidak berpolitik’, dan oleh karenanya tidak saksama mengembangkan institusi gereja dalam mengartikulasikan kesalehan atau perilaku etis jemaat dalam menjalin relasi dengan institusi negara. Titik pijak pewacanaan yang disimulasikan dalam studi ini adalah bahwa menjadi orang Kristen yang saleh sekaligus warga negara yang baik akan bermuara pada relasi politik yang konstruktif antara gereja dengan negara. Strategi pewacanaan yang mendudukkan status ganda jemaat yang adalah juga warga negara, memungkinkan terjalinnya relasi yang sinergis, tidak saling mengeksklusi atau menyingkirkan. Lebih dari itu, fungsi gereja dihadapan negara adalah memfasilitasi artikulasi kesalehan jemaat yang pada saat yang sama juga merupakan artikulasi kewarganegaraannya di hadapan negara dalam berdemokrasi. Model wacana yang dikembangkan adalah model yang sinergi dan optimal dalam mengartikulasikan kesalehan jemaat, yang pada saat yang sama adalah merupakan artikulasi warga negara yang berdaulat di hadapan negaranya.
Artikulasi kesalehan jemaat yang sekaligus merupakan artikulasi kewarganegaraannya, telah berlangsung dalam praktik kebudayaan. Studi dengan menggunakan kasus/konteks Gereja Kristen Sumba (GKS) ini, menegaskan bahwa dalam praktik budaya/agama lokal Sumba, yang ditandai dengan tegarnya wacana ‘Millajarra’, berlangsunglah praktik berjemaat dan berwarga negara yang sinergi dan optimal, tanpa harus mencampur adukkan penggunaan otoritas gereja dan negara. Dalam praktik budaya setempat, otoritas gereja beroperasi dalam teritori yang sama. Sadar bahwa pretensi gereja tidak berpolitik sebetulnya berakar dari konflik rebut spasial/territorial, sehingga gereja dan negara saling mengeksklusi, maka penulis merujuk pada wacana budaya lokal sebagai insulator kultural, yang memungkinkan gereja dan negara dapat bersinergi dan co-exsist. Studi ini menggunakan teori production of space yang ditawarkan Lefebvre sebagai acuan dalam praktik pewacanaan. Dengan meminjam pemikiran Lefebvre, studi ini mensimulasikan gagasan tentang kerajaan Tuhan di muka bumi. Yang harus dirumuskan dalam model wacana insulatif ini adalah campur aduknya praktik berjemaat, berwarga negara dan berbudaya secara simultan.
This is the study of discourse in religious politics, more precisely piety politics by seeking a workable model of discourse on the relation of church and state, through the congregation's citizenship. The discourse model that has been rolling during this time, is trapped in the thinking shell ‘the church wasn't political’, and therefore doesn't carefully develop church institutions in articulating piety or ethical behavior of the congregation in making relation to state institutions. The discourse point, that is simulated in this study, is that being a pious Christian as well as a good citizen will be going to a constructive political relationship with the state. A discourse strategy that places the dual status of the congregation, which are also citizens, allows the establishment of synergistic relations, not excluding each other. Moreover, the church's function before the state is to facilitate the articulation of the congregation's piety which at the same time also the articulation of their citizenship before the state in democracy. The discourse model developed is a synergistic and optimal model in articulating the congregation's piety, which at the same time is the articulation of sovereign citizens before their country.
The articulation of the congregation's piety, that also the articulation of their citizenship, has taken place in cultural practices. The study using the case/context of ‘Gereja Kristen Sumba’ confirms that local cultural practices (Sumba culture), which are characterized by the ‘Millajarra’ discourse, have taken place of congregational and citizenship practice are synergistic and optimal, without having to mix the use of church authority with state authority. In local cultural practice, church authorities operate within the same space or territory. Aware that the pretension of the church wasn't political actually rooted in spatial/territorial conflicts where church and state exclude each other, the author refers to local cultural discourse as a cultural insulator, which allows church and state to synergize and co-exist. This study uses the theory of the production of space that Lefebvre offers as a reference in the practice of discourse. Borrowing Lefebvre's ideas, this study simulates the idea of God's kingdom on Earth. What should be formulated in this insulative discourse model is the mixing of congregational, citizen, and cultured practices.
Kata Kunci : Wacana Kesalehan, Gereja Tidak Berpolitik, Insulasi, Milajarra/ Piety Discourse, The Church Wasn't Political, insulatin, Milajarra.