Laporkan Masalah

Pelemahan Tata Ruang Adat di Desa Tumbang Marikoi, Kalimantan Tengah

Tari Budayanti Usop, Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D., IPU

2023 | Disertasi | S3 Teknik Arsitektur

Industrialisasi yang terjadi secara besar-besaran di Provinsi Kalimantan Tengah dalam beberapa dekade terakhir ini, desa di Kalimantan Tengah mengalami perubahan tata ruang adat akibat masuknya industri perkebunan kelapa sawit telah membawa pengaruh besar terhadap tata ruang adat desa-desa di Kalimantan Tengah. Pada tahun 2010 provinsi Kalimantan Tengah sedang terjadi konflik sosial yang berkaitan dengan persoalan lahan, tanah adat, wilayah adat, hutan adat, dalam situasi yang demikian berimplikasi terhadap ruang-ruang kehidupan adat. Semenjak dikeluarkan undang-undang hutan produksi (1999) tentang hal memberikan izin usaha perkebunan besar swasta (PBS) maka masyarakat adat yang hidupnya berbasis pada hutan, menjadi kehilangan akses ke hutan sehingga mengakibatkan kerentanan hidup dan mengancam robohnya lumbung pangan. Berladang merupakan salah satu identitas kultural masyarakat adat Dayak, sehingga mengancam keberlangsungan desa-desa di Kalimantan Tengah dan dikuatirkan terganggunya kemandirian pangan.

Fenomena perubahan lahan yang terjadi di desa-desa di Kalimantan Tengah, telah mengganggu aktivitas ekonomi hutan masyarakat adat dan bahkan tempat religius magis warisan leluhur telah hilang. Pada prinsifnya terjadi ketidak pahaman terhadap konsep tata ruang adat masyarakat tradisional, pemerintah daerah memandang aktivitas yang dilakukan masyarakat tradisional memiliki produktivitas rendah dan tidak ada manfaat ekonomi, sehingga pada akhirnya kebijakan konversi lahan dengan memberikan perijinan pembukaan lahan kepada para investor perkebunan besar swasta (PBS) membawa kerentanan hidup dan berdampak kepada bencana ekologi lingkungan hidup akibat hutan-hutan dibuka dalam skala besar. Desa Tumbang Marikoi, merupakan salah satu desa yang berbasis pada ekonomi hutan, lokasi desa yang berada diantara sungai Kahayan Hulu dan sungai Marikoi, dan kedua sungai ini merupakan akses menuju hutan adat mereka, hutan merupakan sumber segalanya sebagai aktivitas berladang, memungut hasil hutan, obat-obatan tradisional daun-akar-akaran-kayu, rotan, berburu. Kini akses mereka untuk kehutan menjadi sangat terbatas karena ruang geraknya menjadi ruang produksi PBS.

Desa Tumbang Marikoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas sebagai lokus penelitian, secara fakta yang ada hal yang menjadi nampak adalah peristiwa wilayah adat desa Marikoi yang telah beroperasi 2 (dua) PBS yang hadir pada tahun 2013, dengan munculnya kekuatan-kekuatan PBS ini maka telah terjadi pelemahan tata ruang adat pada kehidupan masyarakat desa. Tata ruang adat Tumbang Marikoi ini telah terkonversi hutan produksi secara luas, dari luas wilayah desa 5.381,4 Ha yang tersisa hanya 381,4 Ha. Desa ini berada pada kawasan khusus yaitu dekat dengan kawasan hutan adatnya sebagai kekayaan hayati yang dimiliki masyarakat hukum adat, yang kini sudah hilang akibat keberadaan PBS. Akibatnya desa ini mengalami banyak perubahan dan dampak dari industrialisasi yang tentu saja mempengaruhi eksistensi kebudayaan, termasuk keberlangsungan desa yang mengalami kerentanan hidup. Pertanyaan penelitian yang diangkat adalah “permasalahan konversi lahan yang terjadi terhadap tata ruang adat di Desa Tumbang Marikoi Kalimantan Tengah, seperti apakah pelemahan tata ruang adat yang terjadi, serta makna sebuah pelemahan yang terjadi terhadap tata ruang adat di desa Tumbang Marikoi?” penelitian dilakukan dengan menggunakan metode fenomenologi transendental melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan. Berbagai informasi dikumpulkan secara induksi secara bertahap melalui metode reduksi dan kategorisasi. Informasi ini menjadi unit-unit informasi, tema-tema, konsep, dan temuan teori yang selanjutnya didialogkan menjadi teori-teori lain.

Hasil penelitian ini berkontribusi dalam pengembangan teori pelemahan yang menggambarkan keadaan tata ruang adat di desa Tumbang Marikoi serta cara memahami peristiwa yang terjadi melalui sejarah, ruang, tempat, dan waktu. Kehadiran PBS yang menghasilkan konflik menjadi paradoks terhadap tata ruang adat dengan pelapisan-pelapisan ruang yang ada. Namun dibalik pelemahan yang terjadi tata ruang adat di desa Tumbang Marikoi memiliki kekuatan adat yang kuat untuk melindungi desanya atas perubahan seperti konversi ruang menjadi PBS. Kode simbolik “pasah patahu” sebagai penjaga lewu/desa merupakan simbol kekuatan adat bahwa persepktif keseimbangan ruang menjadi hal utama dalam pengaturan tata ruang adat suku Dayak. Kepercayaan Kaharingan yang mengandung nilai-nilai spiritual sebagai eksistensi masyarakat adat bahwa nilai-nilai budaya yang hadir pada konsep ruang hidup mereka sebagai salah satu unsur penguatan dan perlindungan. Oleh sebab itu ketika memproduksi tata ruang nasional dalam proses perencanaan, memerlukan pemahaman akan suatu tempat (sense of place) sehingga menghasilkan desain tata ruang yang subyektif dan berbudaya.

Kata kunci: pelemahan tata ruang adat; masyarakat hukum adat; paradoks tata ruang adat

Industrialization that has occurred on a large scale in Central Kalimantan Province in the last few decades, villages in Central Kalimantan have experienced changes in traditional spatial arrangement because of the entry of the oil palm plantation industry which has had a major influence on the traditional spatial arrangement of villages in Central Kalimantan. In 2010th the province of Central Kalimantan was experiencing social conflicts related to land issues, customary land, customary territories, customary forests, so that in such a situation as a whole it had implications for customary life spaces. Since the promulgation of the Production Forest Law (1999) concerning granting business permits for large private plantations (PBS), indigenous peoples whose lives are based on forests have lost access to forests, resulting in vulnerability to life and threatening the collapse of food storages. Farming is one of the cultural identities of the Dayak indigenous people, so that the sustainability of villages in Central Kalimantan is concerned about the disruption of food self-sufficiency.

The phenomenon of the land conversion that has occurred in villages in Central Kalimantan has disrupted the economic activities of indigenous peoples' forests and even the magical religious places of ancestral heritage have been lost. In principle, there is a lack of understanding of the concept of traditional spatial arrangement for traditional communities, the local government views activities carried out by traditional communities as having low productivity and no economic benefits, so that in the end the land conversion policy is by giving permits for land clearing to large private plantation investors (PBS). bring vulnerability to life and have an impact on environmental ecological disaster as a result of forests being cleared on a large scale. Tumbang Marikoi Village, is one of the villages based on the forest economy, the location of the village is between the Kahayan Hulu and Marikoi rivers, and these two rivers are access to their customary forest, forest is the source of everything as farming activities, collecting forest products, medicine -Traditional medicines of leaves, roots, wood, rattan, hunting. Now their access to forestry is very limited because their space for movement becomes a space for PBS production.

Tumbang Marikoi Village, Damang Batu District, Gunung Mas Regency as the locus of research, in fact what has become apparent is the incident of the customary territory of Marikoi village which has operated 2 (two) PBS which were present in 2013, with the emergence of these PBS strengths then there has been a disempowering of traditional spatial arrangement in the life of village communities. The Marikoi customary spatial plan has been widely converted into production forest, from a village area of 5,381.4 hectares, only 381.4 hectares remain. This village is located in a special area, which is close to its customary forest area as a biological wealth owned by customary law communities, which has now been lost due to the existence of PBS. As a result, this village has experienced many changes and the impact of industrialization which of course has affected the existence of culture, including the sustainability of villages that are experiencing life vulnerabilities. The research question raised was "problems of land conversion that occurred to traditional spatial arrangement in Tumbang Marikoi Village, Central Kalimantan, such as what was the disempowering of traditional spatial arrangement that occurred, and the meaning of disempowering traditional spatial arrangement in Tumbang Marikoi village?" the research was conducted using the transcendental phenomenological method through in-depth interviews and field observations. Various information is collected by induction in stages through reduction and categorization methods. This information becomes information units, themes, concepts, and theoretical findings which are then dialogued into other theories.

The results of this study contribute to the development of an attenuation theory that describes the state of customary spatial planning in the village of Tumbang Marikoi and how to understand events that occur through history, space, place, and time. The presence of PBS, which results in conflict, becomes a paradox against traditional spatial arrangements with existing layers of space. However, behind the disempowering of traditional spatial arrangement in the village of Tumbang Marikoi, there is strong customary power to protect the village from changes such as the conversion of space to PBS. The symbolic code "pasah patahu" as the guardian of lewu/village is a symbol of the power of custom that the perspective of spatial balance is the main thing in managing the customary spatial layout of the Dayak tribe. Kaharingan believes that contains spiritual values existence of indigenous peoples the cultural values that are present in the concept of their living space one of the elements of reinforcement and protection. Therefore, when producing a national spatial plan in the planning process, requires an understanding of a place (sense of place) so as to produce a subjective and cultured spatial design.

Keywords: disempowering traditional spatial arrangement; indigenous community; traditional spatial paradox.

Kata Kunci : Pelemahan tata ruang adat; masyarakat hukum adat; paradoks tata ruang adat

  1. S3-2023-435485-abstract.pdf  
  2. S3-2023-435485-bibliography.pdf  
  3. S3-2023-435485-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2023-435485-title.pdf