POLITIK ARTIKULASI : Kecendekiawanan Ahmad Mustofa Bisri Dalam Menggumuli Kontestasi Kebenaran
Khoiron, Prof. Dr. Purwo Santoso; Dr. Budi Irawanto, MA.
2023 | Disertasi | S3 Ilmu Politik
Studi
ini bercerita tentang politik artikulasi yang menandai kecendekiaan seorang agamawan : Ahmad Mustofa Bisri yang
akrab disapa Gus Mus. Praktik artikulasi ide atau nilai yang digeluti, dan
dilakukan sering kali mengejutkan,
dan secara koloqial disebut nyentrik, namun pada akhirnya survive
dalam menegakkan makna di tengah tegarnya rezim kebenaran (regime of truth) yang dominan.
Kecendekiaan hadir dalam politik
artikulasi dan justru dalam artikulasi yang nyentrik itulah, dirinya sebagai cendekiawan diposisikan sebagai referensi kebenaran. Dari segi telaah
politik artikulasi ini, studi ini mencoba berkontribusi. Oleh karena itu, argumen
utamanya adalah melalui praktik politik
artikulasi yang melintasi batas ragam
rezim kebenaran itulah yang menandai
kecendekiaan seorang cendekiawan. Telaah berangkat dari proposisi Marxian yang
diwakili oleh Antonio Gramsci, Max Weber dan termasuk Michel Foucault. Hanya saja, setting telaah ini berbeda dengan setting
telaah mereka : kapitalisme. Dalam pandangan
Gramscian dan Weberian, cendekiawan muncul dari kelas atau social group tertentu di dalam situasi kapitalisme. Titik tolak kajian ini adalah dalam lensa Foucauldian. Oleh karena menggunakan lensa Foucauldian, maka studi ini bercerita kecendekiawanan dengan cara yang berbeda dari
studi-studi kecendekiawanan yang sudah ada. Yang jelas, cendekiawan disini
bukan sesuatu yang taken for granted, sebaliknya cendekiawan dibentuk
dalam diskursus. Artinya, cendekiawan itu dibentuk oleh kekuasaan. Berdasarkan pembacaan ulang terhadap perdebatan
teoritis tentang cendekiawan, studi ini bertujuan untuk merekonstruksi kecendekiaan melalui praktik politik artikulasi wacana. Dalam studi ini, telaah dipusatkan pada dua kasus dalam kontestasi dan praktik sosial, yaitu Inul 2003 dan Muktamar NU
2015. Dua kasus ini dipilih
untuk menunjukkan fakta dari praktik politik artikulasi
wacana
yang diusungnya. Melalui genealogi Michel Foucault studi ini
menemukan 1). Subyek Gus Mus tercipta oleh rezim pesantren. 2). Kepiawaian
artikulasi itu
dipagari oleh nalar wasathi dan atsari sehingga pesona itu terbentuk. Melalui kedua nalar ini,
praktik politik artikulasi menemukan a). Praktik politik artikulasi
yang melampaui ketubuhan b). Praktik politik artikulasi yang melampaui keproseduralan. 3). Bahwa seluruh praktik politik artikulasi yang menandai
kecendekiaan ini adalah bentuk artikulasi wacana agama anugerah.
This
study examines the politics of articulation representing a religionist
intellectual: Ahmad Mustofa Bisri, familiarly called Gus Mus. His practice of
articulating ideas or values was often shocking and colloquially eccentric;
however, he ultimately survived in upholding meaning amid a dominant and
rigid regime of truth. Intelligence is present within politics of articulation,
and precisely in that eccentric articulation, he is an intellectual positioned
as truth reference. This study contributes to the review of the politics of
articulation. The political practice of articulation that crosses the
boundaries of various regimes of truth characterizes an intellectual. The
analysis departs from the Marxian proposition represented by Antonio Gramsci,
Max Weber, and Michel Foucault. The settings of this review are different
from their review: capitalism. In the Gramscian and Weberian views, an
intellectual emerges from a particular class or social group in a
situation of capitalism. The starting point of this study is Foucauldian, and
then this study examines intellectuality in different ways. Here,
intellectuality is not taken for granted; on the contrary, it is
formed in discourse and shaped by power. Based on a reread of theoretical
debates about intellectuals, this study aims to reconstruct intellectuality
through the political practice of discourse articulation. This study centered
on two cases in contestation and social practice, namely the case of Inul 2003
and the case of the 2015 NU Congress. These two cases were selected to show
facts from the political practice of the articulation they carried. Through
Foucault’s genealogy, this study found 1). The subject of Gus Mus was created
by the pesantren (Islamic Boarding School) regime. 2). Articulation
skills were limited by wasathi and atsari reasoning so that they produced
charm. Through both reasonings, the practice of political articulation found
a). The practice of politics of articulation that goes beyond the body b). The
practice of politics of articulation that go beyond proceduralism. 3). That
practice of politics of articulation marking intellectuality is in the form of
discourse articulation of religion of grace.
Kata Kunci : Intellectual, discourse, the regime of truth, articulation, politics of articulation