Bencana Geologi Masa Lampau Pada Kawasan Cagar Budaya Majapahit Trowulan Dan Sekitarnya, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur
Bagaskara Wahyu Purnomo Putra, Dr.Eng. Ir. Didit Hadi Barianto, S.T., M.Si., IPM.; Dr.Eng Ir. Agung Setianto, S.T., M.Si., IPM
2023 | Tesis | S2 Teknik Geologi
Kerajaan Majapahit yang beribukota di Trowulan merupakan salah satu kerajaan terbesar yang berdiri di Indonesia pada akhir abad ke 13 hingga paruh awal abad ke 15. Bencana geologi diduga menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran peradaban dari Kerajaan Majapahit. Dugaan ini muncul karena beberapa bukti tertulis dari masa Kerajaan Majapahit mencatat adanya peristiwa dapat ditafsirkan sebagai bencana alam. Salah satu kawasan Kerajaan Majapahit yang diduga mengalami bencana alam sehingga sebagian wilayahnya terkubur adalah Ibukota Trowulan yang saat ini telah menjadi Kawasan Cagar Budaya. Studi ini mencoba mengidentifikasi tipe bencana geologi dan sejarah penimbunan kawasan Ibukota Trowulan berdasarkan pengamatan lapangan, stratigrafi endapan, analisis granulometri, serta analisis spasial. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan stratigrafi endapan situs pada 12 lokasi pengamatan menunjukkan terdapat dua fasies stratigrafi endapan yaitu: fasies endapan point bar dengan ketebalan 3,8 meter dan fasies endapan bencana dengan ketebalan 2,2 meter. Fasies endapan bencana ini dicirikan memiliki fragmen dominan berupa pecahan batu-bata, tembikar, keramik, dan batu andesit yang membulat berukuran bongkah hingga kerikil dan keterdapatan struktur channeling serta imbrikasi fragmen. Berdasarkan kenampakan fasies endapan bencana tipe bencana geologi yang pernah melanda Kawasan Cagar Budaya Trowulan, yaitu bencana gempa bumi likuefaksi dan bencana banjir bandang. Bencana gempa bumi likuefaksi dicirikan oleh fasies lapisan bencana yang memiliki kemas grains supported, struktur bangunan yang hancur dan meliuk sedangkan lapisan banjir bandang memiliki kemas matriks supported dengan sortasi yang buruk. Berdasarkan catatan tertulis, kedua bencana ini terjadi secara bergantian dalam dua periode peristiwa bencana. Pertama, pada 1334 Masehi yang disebut sebagai peristiwa Palindu dan banjir bandang sebagai Guntur Banyu Pindah. Kedua, pada periode rentang 1450 sampai 1481 Masehi yaitu bencana gempa bumi likuefaksi palindu (1450 Masehi) dan bencana banjir bandang guntur pawatugunung (1481 Masehi). Hasil pengukuran 88 data arah arus purba yang didukung oleh hasil pengamatan lapangan, data granulometri dan analisis spasial menunjukkan, tren arah utama aliran bencana banjir bandang yang melanda Kawasan Cagar Budaya Trowulan berarah selatan barat daya (SSW) menuju utara timur laut (NNE). Selain tren arah utama tersebut, pada beberapa situs ditemukan adanya tren arah selain dari tren arah utama yaitu berarah timur ke barat (E to W). Berdasarkan tatanan geologi regional, bencana gempa bumi di Kawasan Trowulan bersumber dari subduksi di selatan Pulau Jawa. Kondisi litologi yang belum sepenuhnya terkompaksi membuat getaran gempa bumi menjadi lebih merusak. Berdasarkan hasil analisis spasial, sumber material banjir bandang yang mengubur Kawasan Cagar Budaya Trowulan berasal dari kompleks morfologi kawah Gentong Gowak Gede yang merupakan bagian dari Gunung Anjasmoro di bagian selatan dari Kawasan Trowulan. Material pada kompleks Gentong Gowak Gede merupakan material longsoran yang diakibatkan oleh bencana gempa bumi likuefaksi yang terjadi sebelum bencana banjir bandang. Selain itu, material pengubur situs juga berasal dari material yang terangkut selama proses aliran banjir bandang terjadi sehingga viskositas alirannya cukup terjaga dan dapat mengalir cukup jauh. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya banyak litik batu-bata pada butir pasir endapan.
The Majapahit Kingdom with its capital in Trowulan, was one of the largest kingdoms that existed in Indonesia from the late 13th century to the early 15th century. Geological disasters are believed to be one of the factors that led to the decline of the Majapahit civilization. This hypothesis arises from several written records from the Majapahit era that mention events that can be interpreted as natural disasters. One of the regions of the Majapahit Kingdom that is believed to have experienced a natural disaster resulting in the burial of parts of its territory is the capital city of Trowulan, which is now a Cultural Heritage Site. This study aims to identify the type of geological disaster and the history of the sedimentation in the Trowulan capital area based on field observations, the stratigraphy of deposits, granulometry analysis, and spatial analysis. Based on field observations and stratigraphy of site deposits in 12 observation locations, two stratigraphic deposit facies were identified point bar deposit facies with a thickness of 3.8 meters and disaster deposit facies with a thickness of 2.2 meters. The disaster deposit facies is characterized by dominant fragments of brick fragments, pottery, ceramics, and rounded andesite stones ranging from boulders to pebbles, along with the presence of channeling structures and fragment imbrication. Based on the appearance of the disaster deposit facies, the geological disaster types that affected the Trowulan Cultural Heritage Site are earthquake liquefaction and flash flood disasters. The earthquake liquefaction disaster is characterized by disaster layer facies with grain supported texture and collapsed and curved structures, while the flash flood layer has a matrix supported texture with poor sorting. According to written records, both of these disasters occurred alternately in two periods. First, in 1334 AD, referred to as the Palindu event and the flash flood event known as Guntur Banyu Pindah. Second, in the period between 1450 and 1481 AD, there were the earthquake liquefaction Palindu event (1450 AD) and the flash flood event called Guntur Pawatugunung (1481 AD). Measurements of 88 paleocurrent directions, supported by field observations, granulometry data, and spatial analysis, indicate the main direction trend of the flash floods that hit the Trowulan Cultural Heritage Site was from the south southwest (SSW) to the north northeast (NNE). In addition to this main direction trend, other directions were also observed in some sites, such as the east to the west (E to W) direction. Based on the regional geological context, earthquakes in the Trowulan area are sourced from subduction in the southern part of Java Island. The unconsolidated lithology conditions make the earthquake vibrations more destructive. Based on spatial analysis, the source of materials for the flash floods that buried the Trowulan Cultural Heritage Site originates from the Gentong Gowak Gede crater morphology complex, which is part of Mount Anjasmoro in the southern part of the Trowulan area. The materials in the Gentong Gowak Gede complex are landslide materials resulting from the earthquake liquefaction disaster that occurred prior to the flash flood disaster. Additionally, the materials that buried the site also come from materials carried during the process of flash flooding, allowing the viscosity of the flow to be maintained and enabling it to flow a considerable distance. This is evidenced by the discovery of numerous brick fragments in the sandy sediment grains.
Kata Kunci : Bencana Geologi; Gempa bumi likuefaksi; Banjir Bandang; Arah Aliran; Sumber Material