Laporkan Masalah

KETIMPANGAN SOSIAL PETANI DALAM PROSES BUDIDAYA TEMBAKAU DI DESA LEGOKSARI KECAMATAN TLOGOMULYO KABUPATEN TEMANGGUNG

Rizky Hatur 'Ariqoh, Dr. Krisdyatmiko, S.Sos., M.Si.

2023 | Tesis | S2 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Daerah penghasil utama tembakau srinthil terletak di Kabupaten Temanggung. Kabupaten Temanggung memiliki banyak rokok, komoditas yang memiliki nilai jual tinggi di pasaran. Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik Kabupaten Temanggung pada tahun 2020, produksi tembakau akan tetap menjadi sumber pendapatan utama bagi 48 persen petani di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa industri pertanian di Temanggung khususnya tembakau memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi pendapatan daerah. Produk tembakau memberikan 70 persen pendapatan bagi petani di Kabupaten Temanggung, meski persentase ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan petani tembakau. Menurut informasi yang tersedia, upah rata-rata bulanan untuk pekerja dan buruh tani adalah sekitar 413.374 Rupiah Indonesia (IDR). Data tersebut hanya mewakili setengah dari rata-rata gaji bulanan nasional, Rp 883.693, sehingga angka ini tidak terlalu berguna. Telah ditentukan, berdasarkan temuan survei pertama, bahwa petani dinonaktifkan dalam berbagai cara yang berbeda, yang disebabkan oleh kekuatan internal dan eksternal. Variabel internal dan eksternal ini berkontribusi terhadap kesenjangan sosial dalam industri budidaya tembakau.

Penelitian ini terjadi di Desa Legoksari Kecamatan Tlogomulyo Kabupaten Temanggung. Metode penelitian yang dikenal sebagai deskriptif kualitatif digunakan untuk penelitian ini. Penelitian ini menggunakan konsep teori kelas sebagai alat analisis utamanya untuk menyelidiki ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh pertanian tembakau. Metode dan tata cara pengumpulan data dipinjam dari teknik pengumpulan data penelitian kuantitatif, khususnya purposive sampling dan campuran snowball sampling, serta studi literatur. Para petani tembakau, tengkulak, pejabat pemerintah dari Desa Legoksari dan Kecamatan Tlogomulyo, serta perwakilan dari Gabungan Asosiasi Tembakau Indonesia termasuk di antara enam belas orang yang berpartisipasi sebagai informan untuk penelitian ini. Wawancara, observasi, dokumentasi tertulis, dan tinjauan literatur yang relevan semuanya berkontribusi pada proses pengumpulan data. Triangulasi data digunakan sebagai pendekatan untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini.

Ketimpangan yang dialami oleh petani dalam budidaya tembakau adalah ketimpangan golongan sosial ekonomi. Ketimpangan ini dapat dilihat dari perbedaan yang tampak pada petani yang memiliki keterbatasan modal sehingga harus menjalin kontrak dengan tengkulak dan terikat hutang modal serta tidak memiliki kebebasan menentukan harga jual tembakau. Sehingga terjadi konflik yang terjadi antara dua kelompok sosial yaitu petani dan tengkulak. Dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang ikut berkontribusi dalam terjadinya kasus ketimpangan sosial yang terjadi di kalangan petani tembakau, seperti Kepala Desa Legoksari, Ketua Kelompok Tani Desa Legoksari, APTI, tengkulak dan petani tembakau. Faktor – faktor yang menyebabkan ketimpangan sosial dalam budidaya tembakau adalah pola jaringan tengkulak yang sangat merugikan serta pola produksi yang membuat hasil tembakau tidak menentu sehingga berimbas pada fluktuasi harga yang tidak menentu. Hal tersebut berdampak pada pendapatan yang tidak menentu dan diterima hanya saat masa panen sehingga petani mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Alternatif dari ketimpangan sosial yang terjadi yaitu penggunaan modal sosial dengan memanfaatkan forum pemuda untuk menggerakan budidaya tembakau yang baik melalui BUMDES Legoksari


The primary region for producing srinthil tobacco is located in Temanggung Regency. The Temanggung Regency has a lot of smoking, a commodity with a high value on the market. According to projections made by the Central Statistics Agency for Temanggung Regency for 2020, tobacco production will continue to be the primary source of income for 48 percent of the region's farmers. This demonstrates that the agricultural industry in Temanggung, specifically tobacco, has very significant ramifications for the region's income. Tobacco products provide seventy percent of the revenue for farmers in Temanggung Regency, even though this percentage is inversely linked to the wellbeing of tobacco farmers. According to the available information, the monthly average wage for agricultural workers and laborers is approximately 413 374 Indonesian Rupiah (IDR). The data only represents half the national average monthly salary, IDR 883,693, so this number is not particularly useful. It has been determined, based on the findings of the first survey, that farmers are disabled in a variety of different ways, which are brought on by both internal and external forces. These internal and external variables contribute to the social disparity within the tobacco cultivation industry.

This research took place in Legoksari Village, Tlogomulyo District, Temanggung Regency. A research method known as descriptive qualitative was used for this study. This study uses the concept of class theory as its main analytical tool to investigate social inequality caused by tobacco farming. Methods and procedures for data collection were borrowed from quantitative research data collection techniques, especially purposive sampling and mixed snowball sampling, as well as literature studies. Tobacco farmers, middlemen, government officials from Legoksari Village and Tlogomulyo District, as well as representatives from the Indonesian Tobacco Association Association were among the sixteen people who participated as informants for this study. Interviews, observations, written documentation and a review of the relevant literature all contributed to the data collection process. Data triangulation is used as an approach to test the validity of the data in this study.

Inequality experienced by farmers in tobacco cultivation is inequality in socio-economic groups. This inequality can be seen from the differences seen in farmers who have limited capital so they have to enter into contracts with middlemen and are bound by capital debt and do not have the freedom to determine the selling price of tobacco. So that there is a conflict that occurs between two social groups, namely farmers and middlemen. It was explained that there were several factors that contributed to the occurrence of cases of social inequality that occurred among tobacco farmers, such as the Head of Legoksari Village, Chair of the Legoksari Village Farmers Group, APTI, middlemen and tobacco farmers. Factors that cause social inequality in tobacco cultivation are the pattern of middlemen networks which are very detrimental and production patterns that make tobacco yields erratic so that they have an impact on erratic price fluctuations. This has an impact on income that is uncertain and is received only during the harvest period so that farmers experience difficulties in meeting their basic needs. An alternative to social inequality that occurs is the use of social capital by utilizing youth forums to promote good tobacco cultivation through Legoksari BUMDES

Kata Kunci : Ketimpangan Sosial, Budidaya Tembakau, Kelas

  1. S2-2023-470106-abstract.pdf  
  2. S2-2023-470106-bibliography.pdf  
  3. S2-2023-470106-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2023-470106-title.pdf