Tradisi Kuliner Peranakan Tionghoa di Kota Surakarta 1900-1942

ARYA DIVANANDA G, Julianto Ibrahim, M.Hum

2023 | Skripsi | S1 SEJARAH

Pada akhir abad kesembilan belas hingga awal abad kedua puluh, Kota Surakarta mengalami proses modernisasi sehingga menyebabkan stabilitas dalam hal ekonomi dan politik. Akibatnya, kota ini mengalami pertumbuhan dalam bidang ekonomi, infrastruktur, komunikasi, edukasi, industrialisasi, dan birokrasi. Modernisasi ini juga diikuti dengan Komunitas Tionghoa yang berimigrasi dari Tiongkok daratan. Komunitas Tionghoa membawa kebudayaan baru dari negeri Tiongkok, salah satunya kuliner. Kedatangan komunitas Tionghoa bersamaan dengan mulainya terjadi pergeseran budaya makan dalam masyarakat Kota Surakarta, seperti munculnya berbagai warung makan, restoran, dan toko roti. Pada tahun 1900 sudah berdiri toko roti Babah Setoe yang menjual roti santan dan roti semir. Roti ini dapat diterima oleh masyarakat Kota Surakarta karena memakai bahan dan bumbu lokal. Penggunaan bahan dan bumbu lokal ini menyebabkan munculnya tradisi kuliner Peranakan Tionghoa. Akibatnya muncul makanan khas dari Kota Surakarta yaitu serabi Notosuman. Serabi Notusuman berdiri pada tahun 1923. Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian sejarah yang meliputi (1) penentuan tema; (2) pengumpulan sumber dan data (heuristic); (3) kritik (verifikasi); (4) interpretasi; dan (5) penulisan sejarah (historiografi). Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa kuliner peranakan dapat diterima secara luas oleh masyarakat lokal (Jawa) di Kota Surakarta.

At the end of the nineteenth to the beginning of the twentieth century, the city of Surakarta underwent a modernization process that led to economic and political stability. As a result, the city experienced growth in the fields of economy, infrastructure, communication, education, industrialization, and bureaucracy. This modernization was also followed by the Chinese community who immigrated from mainland China. This Chinese community brings new culture from China, one of which is culinary. The arrival of the Chinese community coincided with the start of a shift in eating culture in Surakarta city society, such as the emergence of various food stalls, restaurants and bakeries. In 1900, the Babah Setoe was established, which sold roti santan and roti semir. This bread is acceptable to the people of Surakarta city because it uses local ingredients and spices. The use of local ingredients and spices led to the emergence of the Chinese Peranakan culinary tradition. As a result, traditional food from the city of Surakarta emerged, namely Serabi Notosuman. Serabi Notosuman was founded in 1923. This research was made by historical research methods that include (1) the determination of themes; (2) collection of sources and data (heuristics); (3) criticism (verification); (4) interpretation; and (5) historical writing (historiography). From the research conducted, it was obtained the conclusion that the Peranakan cuisine can be widely accepted by the local (Javanese) community in Surakarta City.

Kata Kunci : Kota Surakarta, Tionghoa, kuliner, peranakan, migrasi, asimilasi, restoran, toko roti.