Laporkan Masalah

Narasi Permusuhan Media Massa pada Perang Nagorno-Karabakh 2020 di Armenia dan Azerbaijan

SEFTYANA AULIA K, Dr. Siti Muti'ah Setyawati, M.A.

2023 | Skripsi | S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Narasi permusuhan menjadi narasi yang dominan digunakan oleh media massa daring yang beroperasi di Armenia maupun di Azerbaijan. Baik media milik pemerintah maupun yang beroperasi secara independen atau privat di kedua negara menggunakan narasi dan pemilihan kata yang mirip, yaitu dehumanisasi terhadap lawan, melabeli lawan sebagai penyerang atau penjajah sementara diri sendiri dinarasikan sebagai pihak yang teropresi. Narasi-narasi ini kemudian turut mengampiflikasi ide yang menjustifikasi tindakan eskalasi serta mendefinisikan perdamaian sebagai kemenangan atas perang. Berdasarkan model dinamis yang dikembangkan oleh Gadi Wolfsfeld, pemilihan narasi yang dilakukan oleh media tersebut dalam mempromosikan konflik disebabkan oleh dua hal penting, yaitu lingkungan politik dan lingkungan atau kultur media. Lingkungan politik dilihat dari kontrol atas media di kedua negara yang ketat yang membatasi hal-hal yang dapat diberitakan, rendahnya konsensus elit akan perdamaian, serta tingginya intensitas krisis yang terjadi selama konflik dan membuat perdamaian tidak stabil. Kedua, lingkungan atau kultur media yang ditandai dengan derajat sensasionalisme yang cukup tinggi di kedua negara dan kebutuhan media akan drama dan kesegeraan melaporkan membuat narasi seputar konflik dianggap lebih layak sebagai berita. Selain itu, minimnya saluran media yang sama yang digunakan oleh kedua pihak juga membuat narasi konflik selalu disajikan dalam pandangan yang bias pada diri masing-masing.

The narrative of hostility is the dominant narrative used by online mass media operating in Armenia and Azerbaijan. Both state-owned and independent or private media in both countries use similar narratives and word choices, namely the dehumanization of the opponent, labeling the opponent as an aggressor or occupier while their own selves is narrated as the oppressed party. These narratives amplify the ideas which justify the escalation and defining peace as victory over war. Based on the dynamic model developed by Gadi Wolfsfeld, the selection of narratives made by the media in promoting conflict is caused by two important things, namely the political environment and the environment or the culture of media. The political environment is seen from the strict control over the media in both countries that limits what can be reported, the low elite consensus on peace, and the high intensity of crises that occurred during the conflict and made peace unstable. Secondly, the media environment or culture characterized by a high degree of sensationalism in both countries and the media's need for drama and immediacy of reporting made narratives around the conflict more newsworthy. In addition, the lack of the same media channels used by both sides also made the conflict narrative always presented in a biased view.

Kata Kunci : media, Perang Nagorno-Karabakh, narasi permusuhan, lingkungan politik, kultur media

  1. S1-2023-439414-abstract.pdf  
  2. S1-2023-439414-bibliography.pdf  
  3. S1-2023-439414-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2023-439414-title.pdf