Impetiginisasi Pada Skabies Dan Non-Skabies Serta Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kajian di Pondok Pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta
DYAHLOKITA S, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K).; dr. Sri Awalia Febriana, M.Kes, Ph.D, Sp.KK(K)
2023 | Tesis-Spesialis | DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGILatar belakang: Skabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan infestasi Sarcoptes scabiei var hominis. Saat ini skabies telah menginfeksi lebih dari 200 juta penduduk di dunia dengan prevalensi tertinggi di Papua New Guinea yaitu 71%. Gatal yang hebat terutama terjadi pada malam hari menjadi gejala yang patognomonis pada skabies menyebabkan penderitanya sering menggaruk. Komplikasi tersering skabies adalah impetiginisasi. Faktor predisposisi impetiginisasi adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, jumlah teman sekamar, dan frekuensi mandi. Tujuan: Mengetahui kejadian skabies impetiginisata dan perbedaannya dengan non-skabies serta faktor-faktor yang memengaruhi di pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Kriteria inklusi adalah semua santri wanita dan pria berusia 6-18 tahun yang memiliki keluhan kulit di pondok pesantren Al-Munawwir dan Mualimin, DIY. Santri dengan keluhan kulit dibedakan yang menderita skabies dan non-skabies kemudian diteliti adanya impetiginisasi dengan pemeriksaan Gram dan kultur. Hasil: Dari 1351 santri yang diperiksa didapatkan 159 orang dengan penyakit kulit, terdiri atas 58 orang skabies dan 101 orang non-skabies. Hasil penelitian didapatkan kasus impetiginisasi sebanyak 42 kasus, terdiri dari masing-masing 21 kasus pada skabies dan 21 kasus pada non-skabies. Jumlah kasus impetiginisasi pada skabies adalah 36,2% dan non-skabies adalah 20,8%. Pemeriksaan kultur didapatkan paling banyak kombinasi Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus. Analisis bivariat menunjukkan kejadian impetiginisasi pada kelompok skabies lebih tinggi dibandingkan non-skabies (p=0,034), faktor lain yang memengaruhi adalah usia (kurang dari 10 tahun), jenis kelamin (laki-laki), dan tingkat pendidikan (SD-SMP). Analisis multivariat menunjukkan bahwa skabies bukan merupakan faktor yang meningkatkan kejadian impetiginisasi sedangkan usia kurang dari 10 tahun (p=0,001; OR=7,30) dan jenis kelamin laki-laki (p=0,045; OR=8,23) merupakan faktor yang meningkatkan risiko impetiginisasi. Kesimpulan: Kejadian impetiginisasi pada skabies sebesar 36,2% dan non- skabies sebesar 20,8% di pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak ada perbedaan bermakna kejadian impetiginisasi pada santri dengan skabies dibandingkan santri yang non-skabies dan faktor-faktor yang lebih memengaruhi adalah usia (kurang dari 10 tahun) serta jenis kelamin (laki-laki).
Background: Scabies is an infectious skin disease caused by Sarcoptes scabiei var hominis infestation. Currently, scabies has infected more than 200 million people in the world, with the highest prevalence in Papua New Guinea, which is 71%. Intense itching, especially at night, is a pathognomonic symptom of scabies, causing patients to scratch frequently. The most common complication of scabies is impetiginization. The predisposing factors for impetiginization were gender, age, education level, number of roommates, and frequency of bathing. Objective: To investigate the prevalence of impetiginized scabies and the difference with non-scabies and the factors that influence it among students at Islamic boarding schools in the Special Region of Yogyakarta. Methods: This research is cross-sectional design. Inclusion criteria were all female dan male students aged 6-18years old who had skin complaints at the Al- Munawwir and Mualimin Islamic boarding schools, Special Region of Yogyakarta. Students with skin complaints differentiated to scabies and non- scabies groups then examined for impetiginization by Gram staining and culture examination. Result: From the 1351 students who were examined, 159 people had skin diseases, consisting of 58 people with scabies and 101 people without scabies. The results showed that there were 42 cases of impetiginization, consisting of 21 cases each with scabies and 21 cases with non-scabies. The number of impetignization cases of scabies was 36,2% and non-scabies wa 20,8%. Culture examination found the most combination of Streptococcus pyogenes and Staphylococcus aureus. Bivariate analysis showed that the prevalence of impetiginization in the scabies group was higher than non-scabies (p=0,034). Other influencing factors were age (less than 10 years old), gender (male), and education level (elementary-junior high school). Multivariate analysis showed that scabies was not a factor that increased the prevalence of impetiginization while age less than 10 years old (p=0,001; OR=7,30) and male gender (p=0,045; OR=8,23) were factors that increased impetiginization risk. Conclusion: The prevalence of impetiginization in was found 36,2% and non- scabies was found 20,8% in Islamic boarding schools in the Special Region of Yogyakarta. There was no significant difference in the prevalence of impetiginization in students with scabies compared to students without scabies and the more influencing factors were age (less than 10 years old) and gender (male).
Kata Kunci : skabies, infeksi bakterial, impetiginisasi, pesantren, scabies, bacterial infection, impetiginization, boarding school