KONTESTASI ANTARA NEGARA DAN MASYARAKAT: KASUS ELEKTRIFIKASI DI DESA ANDUNG BIRU, KECAMATAN TIRIS, KABUPATEN PROBOLINGGO
MOHAMMAD FARID B, Prof. Dr. Susetiawan, S.U.
2023 | Tesis | MAGISTER PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAANData dan fakta menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di wilayah desa masih kekurangan listrik. Tentu, kondisi tersebut seringkali memungkinkan inisiasi pasokan listrik mandiri berbasis masyarakat. Salah satu praktik tersebut, yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun yakni di Desa Andung Biru. Berangkat dari ketidakhadiran negara melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai entitas badan usahanya dalam menyediakan listrik di desa tersebut mendorong masyarakat mencari solusi berbasis potensi lokal. Alhasil, masyarakat menciptakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang memanfaatkan ketersediaan air sebagai sumber daya alam untuk menghasilkan listrik. Setelah berlangsung sekian lama, praktik penyediaan listrik mandiri tersebut berhasil mengubah kondisi desa dari kegelapan menjadi terang, dan kini memulai babak baru perjalanannya. Listrik yang awalnya disediakan oleh Kelompok Tirta Pijar–sebagai kelompok masyarakat pengelola PLTMH, terjadi perubahan konstelasi aktor penyedia sejak masuknya PLN. Di Desa Andung Biru, saat ini terdapat penyedia listrik baik dari negara maupun masyarakat. Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertanyaan penelitian yakni bagaimana kontestasi yang terjadi antara negara dan masyarakat dalam usaha penyediaan listrik di Desa Andung Biru. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus untuk menggambarkan kontestasi negara dan masyarakat. Sehingga, penajaman analisis dalam studi ini, peneliti menggunakan beberapa pemikiran sebagai kerangka teori antaranya kontestasi aktor dalam pemikiran Pierre Bourdieu, ide tentang keterlekatan ekonomi, dualisme ekonomi oleh J.H. Boeke, dan pemikiran E.F. Schumacher terkait dengan penguatan argumen akan fleksibilitas masyarakat sebagai gerakan informal. Hasil studi menunjukan bahwa kontestasi antara negara dan masyarakat dalam penyediaan listrik di Desa Andung Biru merupakan rentetan peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain. Temuan pertama yakni kontestasi muncul akibat dari adanya ambiguitas posisi dan peran negara dan masyarakat dalam regulasi kelistrikan. Seringkali argumentasi atau justifikasi “atas nama negara†dengan merujuk berbagai regulasi mendorong PLN masuk ke suatu desa yang sebelumnya telah eksis aktor lain sebagai penyedia. Kedua, terjadinya kontestasi aktor di Andung Biru yang menunjukan konflik kepentingan antara pemerintah desa dan Kelompok Tirta Pijar yang didasarkan pada sumber daya dan kuasa. Alhasil, ketidakpaduan kedua aktor tersebut menjadi momentum hadirnya PLN dengan pendekatan birokratisnya. Ketiga, dualistik penyediaan listrik tersebut berimplikasi terhadap Kelompok Tirta Pijar yang memunculkan kreativitas baru dalam pengelolaan PLTMH sebagai strategi kontestasi. Terdapat tiga bentuk cara yang dilakukan antaranya perubahan skema pembayaran, restrukturisasi kelompok dengan melakukan penambahan anggota, dan otomatisasi alat untuk masyarakat yang menggunakan dua listrik. Masyarakat sebagai konsumen pun juga mengalami perubahan akibat dari pergeseran penyediaan listrik tersebut yakni terdapat fleksibilitas dalam mengakses listrik didasarkan pada aspek kultural, ekonomi, maupun historikal. Berdasarkan berbagai temuan tersebut, penelitian ini berargumen bahwa kontestasi yang terjadi menunjukan dua kontestan yang tidak setara. Pada akhirnya, perbedaan tersebut bermuara pada munculnya dualisme ekonomi akan penyediaan listrik dengan masyarakat sebagai konsumen lah yang menentukan penyedia layanan listrik yang mereka kehendaki. Argumen lain menunjukan bahwa dualisme ekonomi pada aktor yang tak setara tersebut pun memunculkan keunikan tersendiri dengan munculnya kreativitas baru dalam pengelolaan listrik oleh Kelompok Tirta Pijar.
Data and facts show that a significant amount of Indonesia's population, particularly in rural areas, still lacks electricity. Naturally, these conditions commonly enable community-based self-sufficient electrical supply initiatives. In Andung Biru Village, one such practice has been going on for nearly 30 years. It encourages people to seek solutions based on local potential by departing from the state's absence through the State Electricity Company (PLN) as its corporate entity providing electricity in the village. As a result, the community creates a Micro Hydro Power Plant (PLTMH), which uses the availability of water as a natural resource to generate electricity. After a long time, the practice of supplying independent energy has finally transformed the village from darkness to light, and it is now beginning a new phase of its journey. The electricity initially provided by the Tirta Pijar Group – as a community group managing the PLTMH has changed in the constellation of providing actors since the entry of PLN. In Andung Biru Village, there are currently both government and community electricity providers. Based on this background, this study aims to investigate the research question, namely, how the state and the community compete with one another to provide electricity in Andung Biru Village. This study uses a qualitative methodology and a case study approach to describe the state and society's contestation. The authors employ a variety of concepts as a theoretical framework to clarify the analysis in this study, including actor contestation in Pierre Bourdieu's thought, the notion of economic attachment, economic dualisme by J.H. Boeke, and E.F. Schumacher's ideas regarding strengthening the case for the flexibility of society as an informal movement. The study results showed that the contestation between the state and society in the supply of electricity in Andung Biru Village is a series of related events. The first finding is that contestation arises from the uncertainty of the state's and society's position and role in electricity regulation. Using various regulations as justifications or arguments "on behalf of the state" frequently pushes PLN into a community where another actor previously served as a provider. Second, such conflict of interest between the village government and the Tirta Pijar Group, based on resources and power, was also demonstrated by the actor's contestation in Andung Biru. As a result, the two actors' incompatibility has given rise to the existence of PLN and its bureaucratic approach. Third, the dualistic supply of electricity has affected the Tirta Pijar Group, which has given rise to new creativity in managing PLTMH as a contestation strategy. It can be accomplished in three ways: by altering the payment system, expanding the group with new members, and automating tools for electricity users. Communities as consumers change due to the change in the energy supply; specifically, there is flexibility in getting electricity based on cultural, economic, and historical factors. These results showed that the contestation had two unequal contestants. In the end, these discrepancies result in economic dualisme in the provision of energy, whereby the general public chooses the power service provider they desire. With the development of fresh innovation in electricity management by the Tirta Pijar Group, another argument demonstrates how economic dualisme among unequal actors also creates its uniqueness.
Kata Kunci : Kontestasi, Desa Mandiri Energi, Elektrifikasi