Laporkan Masalah

"Berkebun" di Perkebunan: Sistem Agroforestri Lokal Para Pekebun dalam Menyeimbangkan Kebutuhan Komoditas, Subsisten, dan Pemulihan Keanekaragaman Hayati di Kalimantan

GILANG MAHADIKA, Prof. Dr. Setiadi, M. Si.

2023 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGI

Berbicara pekebun sangat melekat dengan sejarah yang mereka alami. Mereka mengalami banyak dampak perubahan komoditas dari waktu ke waktu. Secara umum pekebun di Kalimantan memiliki sejarah perkebunan karet yang kemudian tergantikan oleh sawit karena menjadi komoditas tren global masa kini. Hal ini menunjukkan proses adaptasi pekebun terhadap fluktuasi yang terjadi dalam komoditas pasar global. Beberapa studi pada umumnya menunjukkan bahwa komoditas sawit dikenal memilliki dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan. Namun, dalam riset tesis ini menunjukkan sudut pandang lain bagaimana kehidupan pekebun merespon komoditas sawit. Istilah agroforestri pun juga muncul sebagai salah satu corak kebiasaan pekebun menanam tanaman lain di sekitar perkebunan mereka. Agroforestri juga diyakini sebagai cara pemulihan biodiversitas yang dilakukan pekebun di tengah perkembangan dan ekspansi perkebunan sawit untuk komoditas global. Maka dari itu, riset ini ingin menjawab dua rumusan masalah, yakni, bagaimana sejarah perkembangan komoditas dan tantangan yang dihadapi pekebun di Kalimantan, dan bagaimana mereka mengintegrasikan perkebunan mereka dengan sistem agroforestri. Penelitian telah dilakukan selama enam bulan (Maret-September, 2022) yang masing-masing terbagi menjadi tiga bulan, di dua tempat, yakni, Desa Muara Nayan, Kalimantan Timur dan Desa Biru Maju, Kalimantan Tengah. Dengan menggunakan konsep socionature, menjadi jelas bahwa apa yang dilakukan pekebun tidak lah sekadar melakukan aktivitas produksi komoditas global, melainkan mereka juga melakukan aktivitas berkebun (gardening), seperti menanam tanaman pangan, buah-buahan, menanam pohon kayu, tanaman hias, tanaman obat, dan masih banyak lagi. Dengan begitu, selain pekebun terus berusaha resilien dengan beradaptasi terhadap perubahan tren komoditas di pasar global dari waktu ke waktu, mereka juga berusaha menjamin kebutuhan subsistensinya agar dapat terus terpenuhi dengan menanam tanaman lain di kebun simpukng bagi Dayak Benuaq dan pekarangan bagi transmigran Jawa. Dampak dari agroforestri lokal simpukng dan pekarangan juga menarik spesiesspesies lain, terutama hewan-hewan liar untuk hidup di wilayah kebun mereka. Hal ini menunjukkan tidak sekadar pemulihan biodiversitas dari sistem agroforestri lokal, melainkan juga menunjukkan bagaimana semakin sempitnya hutan bagi kehidupan spesies liar karena ekspansi perkebunan. Maka dari itu, agroforestri perkebunan membuka kemungkinan-kemungkinan kajian etnografi mengenai pekebun dalam menyeimbangkan kebutuhan komoditas dengan subsistensi, serta pemulihan biodiversitas atau keanekaragaman hayati di sekitar perkebunan komoditas global.

Talking about smallholders, they are very attached to the history they experience. They experience many impacts of commodity changes over time. In general, smallholders in Kalimantan have a history of rubber plantations which were later replaced by oil palm because it has become a commodity of today's global trends. This shows the process of adaptation of smallholders to fluctuations that occur in global commodity markets. Several studies generally show that palm oil is known to have a negative impact on environmental damage. However, this thesis research shows another perspective on how the life of smallholders responds to the oil palm commodity. The term agroforestry also appears as a feature of the habit of gardeners to plant other crops around their plantations. Agroforestry is also believed to be a way of restoring biodiversity by smallholders amid the development and expansion of oil palm plantations for global commodities. Therefore, this research wants to answer two research questions, namely, what is the history of commodity development and the challenges faced by smallholders in Kalimantan, and how do they integrate their plantations with agroforestry systems. The research was carried out for six months (March-September, 2022), each divided into three months, in two places, namely, Muara Nayan Village, East Kalimantan and Biru Maju Village, Central Kalimantan. By using the concept of socionature, it becomes clear that what gardeners do is not only carry out global commodity production activities, but they also carry out gardening activities, such as planting food crops, fruits, planting timber trees, ornamental plants, medicinal plants, and much more. That way, apart from the smallholders continuing to strive to be resilient by adapting to changes in commodity trends in the global market from time to time, they are also trying to ensure that their subsistence needs can continue to be met by planting other crops in simpukng gardens for Benuaq Dayaks and pekarangan for Javanese transmigrants. The impact of the local simpukng and pekarangan agroforestry also attracts other species, especially wild animals, to live in their garden area. This shows not only the restoration of biodiversity from local agroforestry systems, but also shows how narrow is the forest for the lives of wild species due to the expansion of plantations. Therefore, plantation agroforestry opens up possibilities for ethnographic studies on smallholders in balancing commodity needs with subsistence, as well as restoring biodiversity around global commodity plantations.

Kata Kunci : smallholders, plantations, indigenous agroforestry, biodiversity, gardening

  1. S2-2023-467007-abstract.pdf  
  2. S2-2023-467007-bibliography.pdf  
  3. S2-2023-467007-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2023-467007-title.pdf