Relasi Kuasa Perebutan Kendali Wilayah Baluwarti dalam Formasi Kuasa Baru di Keraton Kasunanan Surakarta
ITSNAINI NURFAIZAH, Hakimul Ikhwan, S.Sos., M.A., Ph.D
2022 | Tesis | MAGISTER SOSIOLOGIABSTRAK Wilayah Baluwarti pada awalnya merupakan pemukiman yang dipinjamkan oleh keraton menjadi tempat tinggal para Abdi Dalem, Bupati Nayaka, Sentana Dalem, Prajurit dan Putra Dalem sebagai balas jasa atas loyalitas pada keraton. Namun hal ini mengalami perbedaan sejak Kemerdekaan Republik Indonesia. Terlebih dengan adanya UUPA Tahun 1960 Tentang perubahan Daerah Istimewa Surakarta menjadi Karesidenan Surakarta di bawah Provinsi Jawa Tengah yang menjadikan Baluwarti sebagai cagar budaya dan masyarakat wajib membayar Pajak PBB. selain itu Keppres No. 23 Tahun 1998 Tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, masuk pada Sunan Ground Meyakini wilayah Baluwarti sebagai bagian dari dinasti Mataram. Surat Palilah Griya Pasiten, masyarakat Baluwarti membayar uang sewa atau uang duduk lumpur. Terlihat bagaimana Baluwarti itu diartikulasikan secara berbeda oleh pihak Pemerintah Kota Surakarta dan Trah Mataram, sehingga perlu dilihat bagaimana pemetaan kontestasi wacana masing-masing aktor dalam sebuah relasi wacana pengelolaan wilayah Baluwarti. Penelitian ini akan menggunakan konsep identitas sebagai wacana sosial menurut Laclau & Mouffe (1996) bahwa Chain of equivalence ini merupakan perjuangan artikulatif yang pada akhirnya membentuk nodal point dan mendislokasi hegemoni yang represif. Sedangkan Rumusan Masalah dalam penelitian ini mencoba untuk mengetahui Bagaimana pemetaan aktor yang terlibat dalam perebutan kendali wilayah Baluwarti dan Bagaimana relasi kuasa perebutan kendali atas wilayah Baluwarti dalam formasi kuasa baru di Keraton Kasunanan Surakarta? Metode penelitian yang untuk menjawab rumusan masalah adalah Kualitatif Dengan Pendekatan Studi Kasus hal ini disebabkan karena kasus ini termasuk kasus unik, tidak semua kota di Indonesia terdapat Keraton yang masih bertahan, selain itu wilayah Baluwarti merupakan satu-satunya wilayah yang warganya tidak memiliki Surat Hak Milik Tanah, selain itu nantinya bisa diterapkan di wilayah bekas swapraja lain dengan permasalah yang sama. Sehingga diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai fenomena dalam konteks khusus seperti relasi kuasa yang membutuhkan penggalian data secara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah Pertama-tama, Lembaga Dewan Adat, Pakubuwana XIII, Tedjowulan dapat mengambil bentuk tindakan intoleransi untuk mempromosikan simbolisme kelompok yang diharapkan bertindak sebagai 'penguasa penanda�¢ï¿½ï¿½ selanjutnya disebut Trah Mataram. Intoleransi simbolik mengacu pada reproduksi simbolisme dan melekat pada makna yang terkonstruksi dari adanya adanya PP No. 16/SD/1946 tentang pembekuan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai DIS dan UU No.10 Tahun 1950 tentang Penghapusan Karesidenan Surakarta. Dalam hal ini Lembaga Dewan Adat, Pakubuwana XIII dan Tedjowulan memilih untuk berkonflik dengan pemerintah dengan tetap mempertahankan kuasa terhadap pengelolaan atas wilayah Baluwarti. Klaim Baluwarti dipandang sebagai Nodal Point yang diartikulasikan ulang setelah adanya Kemerdekaan Republik Indonesia. Pemerintah Kota sebagai Cagar Budaya dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Kota Surakarta. Merubah living culture, sehingga mencoreng citra keraton dan menarik simpatisan dari masyarakat dengan rencana penataan RTLH (Rumah tak layak huni). Sementara itu Lembaga Dewan Adat, Pakubuwana XIII dan Tedjowulan yang mengatrikukasi sebagai Dinasti Mataram melakukan inventarisasi tanah yang dianggap milik dinasti dalam forum FKN IV (Forum Keraton Nasional) Perjuangan LDA untuk membuat lembaga berbadan hukum dan terus menyelenggarakan upacara adat di wilayah Baluwarti. Negosiasi Trah Mataram dengan Pemerintah Kota Surakarta Baluwarti membentuk narasi bersama tentang wilayah Baluwarti yang harus dikelola secara adat budaya Jawa dan pembentukan sinkronisasi hukum adat, hal ini merupakan rantai persamaan yang disebut sebagai chain of equivalent Keyword : Relasi Kuasa, Wilayah Baluwarti, Keraton, Identitas Sosial
ABSTRACT The Baluwarti Area was originally a settlement lent by the palace to become the residence of the Abdi Dalem, Regent Nayaka, Sentana Dalem, soldiers and Putra Dalem as compensation for their loyalty to the palace. However, there has been an adjustment since the Republic of Indonesia's independence. Particularly, the 1960 Basic Agrarian Law, changed the Special Region of Surakarta to Surakarta Residency under the Province of Central Java, which subsequently declared Baluwarti as a cultural heritage and required the public to pay Land and Building Tax. In addition, Presidential Decree No. 23 1998 concerning the status and management of the Surakarta Kasunanan Palace, which included as part of Sultan Ground, believed that the Baluwarti area was part of the Mataram dynasty. In Surat Palilah Griya Pasiten, Baluwarti residents need to pay rent or uang duduk lumpur. It would seem that Baluwarti is articulated differently by the Surakarta City Government and Trah Mataram, therefore it is essential to observe the contestation of how each actor's discourse is mapped concerning the management of Baluwarti area. This research uses the concept of identity as a social discourse according to Laclau & Mouffe (1996) the Chain of Equivalence is an articulation struggle that ultimately constructed nodal points and dislocates repressive hegemony. The research aims to find out the actors involved in the struggle for control of Baluwarti area, and the power relations of a struggle for control in the Baluwarti area in the new power formation at the Surakarta Kasunanan Palace. This case is unique as it is attributed to the fact that only a few cities in Indonesia have such a preserved palace. Moreover, the Baluwarti area is the only place where residents do not possess a Land Ownership Certificate, in hopes that it can be applied to other former autonomous regions with identical problems in the future. Hence, it is developed to provide insight into specific contexts such as power relations which require in-depth data analysis. The results of this study are first, the Customary Council, Pakubuwana XIII, Tedjowulan can perform acts of intolerance to promote group symbolism which is expected to act as a 'marking ruler' subsequently referred to as Trah Mataram. Symbolic intolerance refers to the reproduction of symbolism and is attached to the meaning that is constructed from the existence of PP No. 16/SD/1946 concerning the suspension of the Surakarta Kasunanan Palace as a Special Region of Surakarta and Law No.10 of 1950 concerning the Abolition of the Surakarta Residency. In this case, the Customary Council, Pakubuwana XIII and Tedjowulan chose to conflict with the government while still retaining power over the management of the Baluwarti area. The Baluwarti Claim is seen as a Nodal Point that was re-articulated after the Republic of Indonesia�¢ï¿½ï¿½s independence, in which the City Government declared as a cultural heritage within the territory of the Surakarta City Government. Changing the living culture, thereby tarnishing the image of the palace and attracting sympathizers from the public with the RTLH (house not livable) arrangement plan. Meanwhile, the Customary Council, Pakubuwana XIII and Tedjowulan, who articulated themselves as the Mataram Dynasty, conducted a land inventory considered belonging to the dynasty in the FKN IV forum (National Palace Forum). The struggle of the Customary Council to create a legal entity, and continue to hold traditional ceremonies in the Baluwarti area. Negotiations of the Trah Mataram with the Surakarta City Government formed a reconciliation narrative that the Baluwarti area must be managed according to Javanese culture and the formation of customary law synchronization, which is defined as a chain of equations most commonly known as the chain of equivalents. Keywords: Power Relations, Baluwarti Area, Palace, Social Identit
Kata Kunci : Relasi Kuasa, Wilayah Baluwarti, Keraton, Identitas Sosial