ANALISIS STRUKTUR PASAR SEBAGAI INDIKASI KORUPSI: POST-MODERN CORRUPTION DALAM INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT

ARIEF N KUNCORO, Amirullah Setya Hardi, S.E., Cand. Oecon., Ph.d,

2022 | Tesis | MAGISTER MANAJEMEN (KAMPUS JAKARTA)

Indonesia adalah negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan tingkat produksi mencapai 46,5 juta ton pada tahun 2022 sedangkan tingkat konsumsi kelapa sawit di tahun yang sama hanya mencapai 17,5 juta ton. Dengan keadaan supply and demand seperti ini, maka Indonesia seharusnya mampu untuk memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit domestiknya. Namun pada bulan Oktober 2021 hingga pertengahan tahun 2022 terjadi fenomena naiknya harga minyak goreng sawit yang sering diiringi dengan kelangkaan produknya di pasar Indonesia. Untuk mengatasi keadaan ini, dikeluarkan berbagai kebijakan sebagai upaya intervensi pemerintah, antara lain kebijakan DMO-DPO dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Beberapa ahli menyatakan bahwa kebijakan ini seringkali menguntungkan beberapa pihak saja dan menjadi salah sasaran karena tidak dinikmati oleh masyarakat sebagaimana seharusnya atau yang dikenal dengan post-modern corruption. Seiring dengan fenomena kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng sawit yang terjadi, penulis menganalisis terkait dengan struktur pasar di industri minyak goreng Indonesia dan perannya dalam indikasi korupsi di industri tersebut, menggunakan teori Structure, Conduct, Performance (SCP). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dijabarkan secara deskriptif berdasarkan data primer dan data pendukung. Data primer didapatkan dari hasil wawancara mendalam dengan narasumber terkait sedangkan data pendukung didapatkan dari artikel, jurnal, buku dan informasi yang diakses dari internet selama periode penelitian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, di dapatkan beberapa kesimpulan bahwa: Struktur pasar di industri minyak goreng di Indonesia mengarah kepada oligopoli dengan konsetrasi CR-4, hal ini membuat pemerintah tidak memiliki database yang lengkap dan komprehensif sehingga tidak dapat mengendalikan pasar. Apabila keadaan ini yang dijadikan dasar dalam penyusunan kebijakan, maka akan menghasilkan kebijakan yang tidak solutif untuk permasalahan yang sedang terjadi. Sedangkan dari sisi conduct, terkait dengan jauhnya jarak antara pabrik minyak kelapa sawit dengan perkebunan kelapa sawit yang membuat biaya transportasi tinggi. Selain itu juga adanya ketidakproposionalan harga minyak goreng sawit di Indonesia dengan harga Crude Palm Oil dunia, yang disinyalir karena adanya hal-hal lain yang mempengaruhi harga minyak goreng di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan domestik juga rupanya masih sering kalah saing dengan ekspor dikarenakan nilai USD yang terus naik dibandingkan dengan nilai rupiah menyebabkan banyak pelaku usaha yang masih memilih ekspor dibanding melakukan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Hal ini menyebabkan potensi korupsi berupa adanya conflict of interest karena diketahui bahwa terdapat pihak yang terafiliasi langsung dengan pelaku usaha oligopoli dalam pembuatan kebijakan terkait dengan ekspor, maupun kebijakan DMO-DPO dan HET sehingga akan cenderung untuk menguntungkan pihak pelaku usaha. Dari sisi kinerja (performance) menunjukkan bahwa perusahaan yang menguasai industri minyak goreng ini mencapai Net Profit Margin yang lebih tinggi pada periode harga minyak goreng mengalami kenaikan, yang disinyalir karena diterimanya subsidi dari Pemerintah. Salah satu subsidi yang disalurkan adalah melalui BPDPKS, yang ternyata 79% nya justru diperuntukkan untuk subsidi biodiesel, dimana perusahaan yang menerima adalah pelaku usaha yang termasuk dalam CR-4. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat indikasi post-modern corruption di masing-masing aspek SCP di industri minyak goreng.

Indonesia is the largest palm oil producing country in the world with a production level of 46.5 million tons in 2022, while the consumption rate of palm oil in the same year only reached 17.5 million tons. With supply and demand conditions like this, Indonesia should be able to meet its domestic palm oil needs. However, from October 2021 to mid- 2022 there was a phenomenon of rising palm cooking oil prices which were often accompanied by a scarcity of its products on the Indonesian market. To overcome this situation, various policies were issued as an effort for government intervention, including the DMO-DPO policy and the Highest Retail Price (HET). Some experts state that this policy often benefits only a few parties and becomes the wrong target because it is not enjoyed by the community as it should or what is known as post-modern corruption. Along with the phenomenon of increasing prices and scarcity of palm cooking oil that occurs, the author analyzes the market structure in the Indonesian cooking oil industri and its role in indications of corruption in the industri, using the Structure, Conduct, Performance (SCP) theory. This research is a qualitative research which is described descriptively based on primary data and supporting data. Primary data were obtained from in-depth interviews with relevant informants while supporting data were obtained from articles, journals, books and information accessed from the internet during the study period. Based on the analysis that has been carried out, several conclusions were obtained that: The market structure in the cooking oil industri in Indonesia leads to an oligopoly with a CR-4 concentration, this means that the government does not have a complete and comprehensive database so it cannot control the market. If this situation is used as the basis for formulating policies, it will produce policies that are not a solution to the problems that are currently happening. Meanwhile, from the conduct side, it is related to the long distance between the palm oil factory and the oil palm plantation which causes high transportation costs. Apart from that, there is also disproportionality between the price of palm cooking oil in Indonesia and the world price of Crude Palm Oil, which is allegedly due to other factors affecting the price of cooking oil in Indonesia. Fulfillment of domestic needs also apparently still often loses competitiveness with exports because the value of the USD continues to rise compared to the value of the rupiah causing many business actors to still choose exports over fulfilling domestic needs. This creates the potential for corruption in the form of conflicts of interest because it is known that there are parties directly affiliated with oligopoly business actors in making policies related to exports, as well as DMO-DPO and HET policies so that they will tend to benefit the business actors. In terms of performance, it shows that the company that dominates the cooking oil industri achieves a higher Net Profit Margin during a period when cooking oil prices increase, which is allegedly due to receipt of subsidies from the Government. One of the subsidies that was channeled was through BPDPKS, of which 79% was actually intended for biodiesel subsidies, where companies that received were business actors included in CR-4. So it can be concluded that there are indications of post-modern corruption in each aspect of SCP in the cooking oil industri.

Kata Kunci : SCP, Cooking Oil Prices, Post-Modern Corruption