Demokratisasi :: Proses perubahan tata pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
WAHYUKISMOYO, Heru, Dr. Purwo Santoso, MA
2003 | Tesis | S2 Ilmu PolitikPerdebatan sengit dalam menentukan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan setting yang selalu berulang dalam kurun waktu lima tahunan, satu pihak menginginkan proses penentuan harus dengan cara demokrasi (dipilih) dan dipihak lain ingin tetap dengan cara konservatif (ditetapkan). Fragmentasi ini menggambarkan betapa rumitnya persoalan hukum, politik, budaya dan sosial yang diakomodir untuk melegitimasi sebuah kepentingan. Inti persoalan sesungguhnya terletak pada masing – masing pihak yang ingin memaksakan kehendaknya, karena masing - masing tidak mau memahami realitas yang ada. Seandainya masing – masing pihak mau memahami kerangka berpikir Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang bertekad : “mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerjasama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannyaâ€, mungkin konsep demokrasi yang diinginkan sebagian masyarakat dapat dipadukan dengan nilai - nilai tradisi yang ada. Maka dengan demikian dapat ditemukan substansi demokrasi yang tidak bertolak belakang dengan nilai tradisi. Sesungguhnya perubahan tata pemerintahan kerajaan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan proses demokrasi yang terus bergulat dengan kehendak perubahan itu sendiri, satu sisi founding fathers mengamanatkan transisi monarkhi menjadi demokrasi, sisi lain menghendaki tetapnya posisi status quo sebagai identitas. Padahal realita telah bicara dan mengatakan bahwa proses monarkhi absolut telah ditransformasikan menuju proses demokrasi, walau masih dalam tahapan perpaduan antara aristokrasi – demokrasi, artinya proses demokrasi masih berpihak dan dilaksanakan oleh elit bangsawan atau aristokrasi. Secara singkat proses perubahan digambarkan bahwa pada masa kerajaan Sri Sultan Hamengku Buwono I s.d. VIII berbentuk Monarkhi Absolut, kemudian oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX diubah menjadi Aristokrasi Demokrasi dan pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X digulirkan wacana Monarkhi Konstitusi. Dalam penelitian ini dibatasi pada masalah proses perubahan tata pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal Demokratisasi dan Keistimewaan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Lebih khusus lagi menyangkut tarik – ulur dalam proses penetapan kepala daerah. Proses penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur (sebagaimana Rancangan Undang Undang Keistimewaan kemudian diubah menjadi Rancangan Undang Undang DIY) mendapat reaksi kalangan akademisi dan dinilai semakin jauh dari semangat demokrasi. Untuk memahami sejauh mana demokratisasi dan keistimewaan berproses dalam tata pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, maka kami sampaikan argumen bahwa untuk memahami status istimewa harus berpijak pada aturan hukum yang berlaku (UUD 1945, pasal 18, UU No. 22/1948, UU No. 3/1950, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999) yang masih mengakui asal – usul suatu daerah. Sedangkan untuk memahami keistimewaan dalam arti non yuridis dapat ditinjau dari sisi sosio spiritual, sosio kultural, sosio historis dan sosio politis masyarakat Yogyakarta. (Ditinjau dari Disiplin Ilmu Politik Lokal yang menekankan pada semangat ethnonational). Kerangka Dasar Teori penulisan ini berangkat dari sebuah entitas, identitas dan simbol – simbol yang ada dalam masyarakat Yogyakarta dengan merujuk pendapat Duverger yang mengidentifikasi struktur sosial dan politik, pendapat Charles F Adrian yang menyoroti tentang perubahan sosial di Inggris (konflik antara kaum Puritan dan Oliver Cromwell). Pendapat Dove yang mensinergikan antara kepentingan budaya tradisional dan tuntutan modernisasi, pendapat Hari J Benda tentang Demokratisasi di Yogyakarta, pendapat Dr Susetiawan tentang idiom Jawa “Tanggap Ing Sasmitoâ€, pendapat Mattulada maupun Cornelis Lay yang merujuk demokrasi sebagai substansi dan melekat dalam tradisi budaya, pendapat Imanuel Kant tentang teori proses logik dan analitik manusia, kemudian untuk melengkapi argumen dilengkapi dengan diagram tentang tuntutan perubahan (Monarki & Demokrasi). Dalam definisi konsepsional, penulis ingin merekonstruksi kembali pengalaman perjalanan atau proses perjalanan politik lokal Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman dalam mengintegrasikan diri dalam NKRI. Pada perjalanan berikutnya ternyata menimbulkan kontras sosial dalam tata pemerintahan, kontras sosial ini muncul akibat adanya dua pemahaman antara penganut mazab konservatif dan mazab modernis atau mazab monarkhi dan mazab demokrasi. Padahal kalau ditinjau dari pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sesungguhnya diamanatkan proses monarki menuju demokrasi. Menatap masa depan Daerah Istiemewa Yogyakarta tidak bisa terlepas dari masa lalu dan masa kini, untuk menentukan masa depan Daerah Istimewa Yogyakarta perlu merefleksikan kembali pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagaimana amanat Tahta Untuk Rakyat, Aturan Pemerintah Pusat, Kehendak Rakyat maupun Kebijakan Sri Sultan Hamengku Buwono maupun Sri Paduka Paku Alam yang bertahta. Sesungguhnya dalam hal ini terbuka peluang bagi demokrasi dan budaya untuk bersanding bersama dalam rangka mendorong tumbuhnya “civil society†bagi Masa Depan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kraton Yogyakarta/Kadipaten Pakualaman.
Venomous debate in determining Governor of Daerah Istimewa Yogyakarta represents the setting which always recurring in range of time five annual, one side wish the determination process have to by democracy (elected) and the other side wish remain to by conservative way (specified). This fragmentation describes how complicated the problem of law, political, culture and social which are accommodated for the legitimize of an interest. The substance of the problem lays in each side who wish to force their desire because each of them does not want to comprehend the existing reality. If each side are willing to comprehend the framework of thought of Sri Sultan Hamengku Buwono IX who intended : “bringing into contact soul of west and east so can work along in harmonious atmosphere, without the East have to loss its personalityâ€, it is possible that the conception of democracy wanted by some of society can be allied with the existing tradition values. So that can be found the substance of democracy which not aside with the tradition value. In fact the governance transition of Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat kingdom became the Daerah Istimewa Yogyakarta represented the democracy process non-stopped grapple with the desire of transition itself, one side of founding fathers commended the transition monarchy became the democracy, the other side wants the permanence of the status quo position as an identity. Though the reality has spoken and said that the absolute monarchy process has been transformed to the democracy process, although still in solidarity step between aristocracy - democratize, it means that process the democracy still side and run by elite of noble or aristocracy. In a word, transition process depicted by a period of Sri Sultan Hamngku Buwono I – VIII’s kingdom was in form of Absolute Monarchy, later by Sri Sultan Hamengku Buwono IX turned into an Aristocracy Democratize and at a period of Sri of Sultan Hamengku Buwono X’s leadership brought out a discourse of Monarchy Constitution. This research is limited at chase of transition process of governance in Daerah Istimewa Yogyakarta in the case of Democratization and Keistimewaan at a period of Sri Sultan Hamengku Buwono IX and Sri Sultan Hamengku Buwono X. More special is about compromising in course of regional leader stipulating. The process of the stipulating of Sri Sultan as Governor (as Draft Of Law of Keistimewaan is then turned into Draft Of Law DIY) getting reaction from academician and assessed progressively far from the spirit of democracy. To comprehend how far democratization and keistimewaan proceed in the arrange of the governance of Daerah Istimewa Yogyakarta is, hence we submit the argument that comprehending special status have to tread on applicable law order (UUD 1945, section 18, UU No. 22 / 1948, UU No.3 / 1950, UU No. 5 / 1974, UU No. 22 / 1999) which still acknowledge the origin of an area. While to comprehend the keistiemewaan in the meaning of non jurisdiction can be evaluated from side of sosio spiritual, sosio cultural, sosio historical and sosio political of the Yogyakarta society. (Evaluated from Local Politics Discipline emphasizing at the spirit of ethno-national). Elementary Framework of this Writing Theory started from an entity, identity, and existing symbols in Yogyakarta society by referring to Duverger’s opinion which identifying social structure and politics, opinion of Charles F Adrian highlighting about social transition in England (conflict between Puritanical and Oliver Cromwell). Dove’s opinion which synergize between traditional cultural importance and modernization demand, Hari J Benda’s opinion about Democratization in Yogyakarta, opinion of Dr Susetiawan about Java idiom “Tanggap Ing Sasmitoâ€, opinion of Mattulada and also Cornelis Lay which refers democracy as substance and coherent in cultural tradition, opinion of Imanuel Kant about logic process theory and analytic of human being, then to equip the argument provided with the diagram about change demand (Monarchic & Democracy). In conceptual definition, the writer wants to reconstruct the journey experience or the journey process of local political of Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman in integrating them-selves to NKRI. Next journey generated social contrast in the governance, this social contrast emerged as the effect of the existence of two understanding between conservative followers of mazab of modernist or mazab monarchy and mazab democracy. Though if evaluated from opinion of Sri Sultan Hamengku Buwono IX in fact commended by a monarchic process to democracy. To the future of Daerah Istimewa Yogyakarta cannot be quit of past and present day, to determine the future of Daerah Istimewa Yogyakarta need to reflect the opinion of Sri Sultan Hamengku Buwono IX as Throne For the People, Central Government Rule, Desire of the People and also Policy of Sri Sultan Hamengku Buwono and also Sri Paduka Paku Alam who reigned. The fact in this case there is an opportunity for democracy and cultural to be side by side in order to push the incidence of “Civil Society†for the future of Daerah Istimewa Yogyakarta and Kraton Yogyakarta or Kadipaten Pakualaman
Kata Kunci : Demokratisasi,Pemerintahan Propinsi DIY, Democratization, Keistimewaan, and Transition Process of the Governance.