Transformasi Jabatan Administrasi ke Jabatan Fungsional (Studi Kasus Delayering pada Kementerian Pertanian)
MOHAMMAD FAHRURRAZI, Dr. Ely Susanto, MBA
2022 | Tesis | MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIKINTISARI Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana penerapan delayering dan transformasi jabatan yang dilakukan pada Kementerian Pertanian serta untuk mengetahui efek penerapannya yang dirasakan oleh pejabat yang terdampak langsung kebijakan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dan menggunakan wawancara semi terstruktur untuk memeroleh data primer. Satu wawancara dilakukan terhadap informan kunci yang merupakan pengelola perubahan dimaksud. Adapun untuk mengetahui efek penerapan kebijakan tersebut terhadap pejabat yang terdampak langsung, dilakukan wawancara terhadap 38 pegawai yang merupakan mantan eselon 3 dan 4 yang saat ini telah bertransformasi ke jabatan fungsional. Selain itu, studi dokumen dilakukan untuk memeroleh data sekunder, yang berasal dari peraturan perundangan dan dokumen internal instansi tersebut. Hasil penelitian menemukan bahwa aktivitas delayering telah dilakukan satu setengah tahun sebelum penelitian dikerjakan di instansi tersebut. 1264 jabatan administrasi telah dihapus yang terdiri dari 286 jabatan eselon 3, 942 jabatan eselon 4, dan 36 jabatan eselon 5 yang kemudian dialihkan ke jabatan fungsional. Instansi tersebut membentuk kelompok substansi sebagai pengganti struktur eselon 3 dan 4 yang terhapus. Kelompok substansi tersebut dapat terdiri dari subkelompok-subkelompok yang kemudian terdiri atas jabatan fungsional dan pelaksana. Satu kelompok substansi dikoordinasikan oleh seorang koordinator, dan begitupun pada subkelompok substansi yang dikoordinasikan oleh seorang subkoordinator. Dengan melihat pada rincian tugas yang diemban kelompok dan subkelompok tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelompok dan subkelompok yang dibentuk pasca delayering memiliki tugas yang sama dengan struktur eselon 3 dan 4 yang telah terhapus. Sementara itu, efek delayering yang dirasakan oleh pegawai yang terdampak langsung kebijakan tersebut dibagi atas aspek organisasi dan aspek individu pegawai. Pada aspek organisasi, seluruh informan mengatakan secara umum belum ada perubahan signifikan yang dirasakan dari perubahan struktur lama ke struktur baru yang lebih datar. Manfaat yang seringkali diharapkan dari penerapan aktivitas delayering, belum banyak didapat oleh instansi tersebut. Hal tersebut disebabkan karena masih adanya peran koordinasi yang dilakukan pegawai yang telah bertransformasi ke jabatan fungsional. Peran koordinasi tersebut dirasakan merupakan representasi dari peran manajerial mereka sebelumnya, yaitu ketika memangku jabatan eselon 3 dan 4. Adapun dari aspek pegawai, terdapat tiga perubahan yang dirasakan pasca penerapan struktur baru antara lain terkait dengan perubahan peluang karier, peningkatan beban kerja, dan perubahan penghasilan setelah bertransformasi ke jabatan fungsional. Berdasarkan temuan dan pembahasan, kiranya dapat disimpulkan bahwa kebijakan penyederhanaan birokrasi sejauh ini mungkin belum mencapai tujuannya.
ABSTRACT The purpose of this study is to find out how the implementation of delayering and job transformation is carried out at the Ministry of Agriculture and to find out the effect of implementing the policy on officials who are directly affected by the policy. This research uses a case study approach and uses semi-structured interviews to obtain primary data. One interview was conducted with the key informant, namely employee who were involved in implementing the changes. As for knowing the effect of implementing the policy on officials who are directly affected, interviews were conducted with 38 employees who are former echelon 3 and 4 and now have transformed into functional positions. In addition, a document study was conducted to obtain secondary data, derived from the laws and regulations and the ministry's internal documents. The results of the study found that delayering activities had been carried out one and a half years before the research was carried out at the ministry. 1264 administrative positions have been removed, consisting of 286 echelon 3 positions, 942 echelon 4 positions, and 36 echelon 5 positions which were later transferred to functional positions. The ministry formed a substance group in place of the deleted echelon 3 and 4 structures. The substance group may consist of subgroups which then consist of specialist and staff positions. One substance group is coordinated by a coordinator, and the sub-group of substances is coordinated by a sub-coordinator. By looking at the details of the tasks carried out by these groups and subgroups, it can be concluded that the groups and subgroups formed after delayering have the same tasks as the structures of echelon 3 and 4 that have been deleted. Meanwhile, the delayering effect felt by employees who are directly affected by the policy is divided into organizational aspects and individual employee aspects. On the organizational aspect, all informants said that in general there had been no significant change from the old structure to the new, namely the flatter structure. The benefits that are often expected from the implementation of delayering activities have not been widely obtained by this ministry. This is because there is still a coordinating role carried out by employees who have been transformed into functional positions. The coordination role is perceived as a representation of their previous managerial role, namely when they held echelon 3 and 4 positions. As for the employee aspect, there were three changes that were felt after the implementation of the new structure, namely related to changes in career opportunities, increased workload, and changes in income. Based on the findings and discussion, it can be concluded that the policy of simplifying the bureaucracy so far may not have achieved its objectives.
Kata Kunci : delayering, pemangkasan eselon 3-4, transformasi jabatan struktural ke fungsional