Laporkan Masalah

Analisa Jaringan Wacana Kebijakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia

ROSALINA W SUBEKTIE, Media Wahyudi Askar, M.Sc., Ph.D

2022 | Tesis | MAGISTER MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kekerasan seksual menjadi topik agenda gerakan perempuan sejak tahun 1970-an hingga 1980-an. Permasalahan publik ini mendorong Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memunculkan agenda penghapusan kekerasan khususnya terhadap perempuan sejak 1993 silam hingga saat ini. Wacana penghapusan kekerasan seksual menjadi semakin penting di tengah signifikansi peningkatan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2020 kekerasan berbasis gender di Indonesia meningkat 8 kali lipat jika dibanding 2002. Kondisi tersebut mendorong Komnas Perempuan dan sejumlah organisasi masyarakat mendesak pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang sudah diusulkan sejak 2012. Penelitian ini mencoba melihat jaringan wacana yang terbentuk pada debat kebijakan UU TPKS yang terpotret pada sejumlah pemberitaan daring di Indonesia. Metode kualitatif dengan menggunakan aplikasi Java Discourse Network Analyzers (DNA) dan Visone digunakan dalam penelitian ini sebagai alat menganalisa pemberitaan terkait UU TPKS dalam satu tahun sebelum pengesahan dan satu bulan terakhir setelah pengesahan. Hasilnya menunjukkan aktor yang terlibat dalam debat kebijakan terdiri dari aktor negara, akademisi hingga masyarat sipil dengan aktor negara masih menjadi aktor dominan pada kondisi ini. Aktor-aktor tersebut membawa berbagai konsep yang kemudian diasosiasikan sebagai logika institusional. Ada dua logika yang mendominasi debat kebijakan penghapusan kekerasan seksual melalui UU TPKS yaitu: logika korban dan logika negara. Logika korban berkaitan dengan segala hal dan isu-isu yang terkait dengan kebutuhan korban kekerasan seksual. Sedangkan logika negara berkaitan dengan kwajiban negara atas korban kekerasan seksual. Selain itu terjadi pergeseran logika institusional yang sifatnya formulatif sebelum pengesahan menjadi lebih teknis setelah pengesahan.

The discourse on ending sexual violence has become important as the number of cases of sexual violence in Indonesia has increased substantially. In 2020, gender-based violence in Indonesia increased eight times in comparison with 2012. Komnas Perempuan and a number of community organizations are calling for the ratification of the Crime Against Sexual Violence Act (UU TPKS). This article attempts to explain the network of discourses which has been formed in the political debate which has been depicted in a number of online news in Indonesia. Discourse Network Analyzers (DNA) and Visone were used to analyze media coverage of the TPKS law in the year prior to ratification and in the final month following ratification. The results explain that the stakeholders involved in the political debates are numerous. Composed of state actors, academics to civil society with state actors still dominate in this condition. These actors have different institutional logics which are conveyed through different concepts in the demands of each actor. There are two main logics that dominate the political debate on the elimination of sexual violence through the TPKS law: the logic of the victim and the logic of the state. The logic of the victim relates to all matters and issues related to the needs of victims of sexual violence. Meanwhile, the logic of the state relates to the state's obligations to victims of sexual violence. Moreover, the institutional logic involved moving from a formulation discourse to a technical discourse.

Kata Kunci : Penghapusan Kekerasan Seksual, UU TPKS, Logika Institusional, Analisa Jaringan Wacana.

  1. S2-2022-466916-abstract.pdf  
  2. S2-2022-466916-bibliography.pdf  
  3. S2-2022-466916-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2022-466916-title.pdf