Kesempatan yang Terlewat: Studi Kasus Kelompok Masyarakat Sipil Memanfaatkan Media Baru dalam Proses Komunikasi Politik pada 2010-2020
WISNU MARTHA A., Dr. Budi Irawanto; Dr. Novi Kurnia
2022 | Disertasi | DOKTOR ILMU POLITIKDisertasi ini mengkaji isu pemanfaatan media baru oleh kelompok masyarakat sipil dalam komunikasi politik. Proses komunikasi politik diartikan secara luas sebagai produksi, distribusi, dan akses informasi dalam konteks kepentingan di antara berbagai pihak. Demokrasi yang menjadi konteks dalam disertasi ini pada tahun 2010 sampai dengan 2020 memiliki dinamika yang unik dan menunjukkan bahwa media baru belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh kelompok masyarakat sipil di Indonesia, baik dalam kontestasi komunikasi politik atau komunikasi publik pada umumnya. Disertasi ini meneliti tiga kelompok masyarakat sipil, yaitu Remotivi, Combine, dan Makassar Nol Kilometer untuk memahami bagaimana ketiganya menggunakan media baru dalam aktivitas komunikasi politik. Ketiganya memiliki persamaan sebagai kelompok masyarakat sipil yang menggeluti bidang komunikasi dan intens menggunakan media baru sekaligus memiliki perbedaan pada konteks lokasi, bentuk kelompok, juga ragam isu yang diangkat. Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah studi kasus karena metode tersebut dapat mengungkapkan realitas sesungguhnya dengan relatif memadai dan dimungkinkan secara metodologis menggunakan beragam sumber data yang tersedia, yaitu pengamatan, pernyataan para aktor, dan dokumen atau konten aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh ketiga kelompok masyarakat sipil. Secara umum analisis disertasi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan media baru oleh kelompok masyarakat sipil belum optimal berdasarkan tiga aspek, yaitu arena, aktor, dan perangkat. Ketiga aspek tersebut merupakan abstraksi dari pemikiran Giddens (1984), Mosco (2008), Castells (2010), dan van Dijk (2012). Aspek arena yang terdiri dari regulasi, eksistensi dan interaksi, dan ruang publik menunjukkan bahwa regulasi memberikan peluang bagi kelompok masyarakat sipil untuk berperan besar dalam komunikasi politik walaupun kenyataannya tidak. Eksistensi dan interaksi kelompok masyarakat sipil juga secara sosiokultural diakui dan berjalan dinamis. Namun arena belum mendorong kontestasi yang seimbang di antara berbagai pihak, sehingga sulit untuk diubah sesuai dengan aspirasi kelompok masyarakat sipil. Interaksi antar aktor pada tiap wilayah juga menunjukkan bahwa dualitas struktural tidak berjalan dua arah. Ruang publik juga menunjukkan pemanfaatan media baru belum dapat mengubah dominasi media lama yang telah berlangsung sepanjang era Orde Baru. Area komunikasi politik yang cenderung menguntungkan institusi pasar menyebabkan isu yang diperbincangkan menjadi terbatas dan publik tidak dengan bebas membentuk opininya. Aspek aktor menunjukkan bahwa kelompok masyarakat sipil memiliki kapasitas yang relatif kuat berkaitan dengan agensi, modalitas, dan literasi. Kelompok masyarakat sipil menyadari sepenuhnya bahwa mereka merupakan agensi melalui tindakan diskursif yang hadir, termasuk cara mereka memahami sumber daya komunikasi dan penggunaannya melalui media baru yang dikenal sebagai modalitas. Demikian juga dengan literasi yang melekat pada aktor, kecakapan menggunakan media baru, termasuk memahami konteksnya dalam berkomunikasi, menunjukkan bahwa kelompok masyarakat sipil memiliki kapasitas yang baik. Jumlah dan keragaman saluran dan format konten yang termasuk di dalam aspek perangkat menunjukkan bahwa media baru memberikan peluang yang luas, namun ternyata keberagaman saluran tersebut cenderung menjadikan kelompok masyarakat sipil saling teralienasi dengan isu yang dibawanya terhadap isu yang lebih luas. Demikian juga dengan format konten yang beragam, antara fakta, opini, dan kombinasi keduanya yang cenderung dipandang justru memperlemah isu yang coba ditawarkan dalam ruang publik
This dissertation examines the issue of the use of new media by civil society groups in political communication. The process of political communication is broadly defined as the production, distribution and access of information in the context of interests among various parties. Democracy, which is the context of this dissertation from 2010 to 2020, has unique dynamics and shows that new media cannot be utilized optimally by civil society groups in Indonesia, both in the contestation of political communication or public communication in general. This dissertation examines three civil society groups, namely Remotivi, Combine, and Makassar Nol Kilometer to understand how the three of them use new media in their political communication activities. The three of them have similarities as civil society groups that work in the field of communication and use new media intensely. They also have differences in the context of location, the form of the group, as well as the variety of issues raised. The research method used in this dissertation is a case study because this method can reveal the real reality relatively adequately and is methodologically possible using a variety of available data sources, namely observations, statements of actors, and documents or content of communication activities carried out by the three civil society groups. In general, the analysis of this dissertation shows that the use of new media by civil society groups is not optimal based on three aspects, namely the arena, actors and device. These three aspects are abstractions from the thoughts of Giddens (1984), Mosco (2008), Castells (2010), and van Dijk (2012). The arena aspect which consists of regulation, existence and interaction, and public sphere shows that regulation provides an opportunity for civil society groups to play a major role in political communication even though in reality it does not. The existence and interaction of civil society groups is also recognized socioculturally and runs dynamically. However, the arena has not encouraged balanced contestation between various parties, so it is difficult to change it according to the aspirations of civil society groups. The interaction between actors in each region also shows that structural duality does not work both ways. The public sphere also shows that the use of new media has not been able to change the domination of the old media that has been going on throughout the New Order era. The area of political communication that tends to benefit market institutions causes the issues discussed to be limited and the public does not freely form their opinion. The actor aspect shows that civil society groups have relatively strong capacities with regard to agency, modality, and literacy. Civil society groups are fully aware that they are agencies through the discursive actions that are present, including the way they understand communication resources and their use through new media known as modalities. Likewise with the literacy attached to actors, skills in using new media, including understanding the context in communicating, shows that civil society groups have good capacity. The number and variety of channels and content formats included in device aspect indicate that new media provides broad opportunities, but in fact the diversity of these channels tends to make civil society groups alienated from each other with the issues they bring to wider issues. Likewise with various content formats, between facts, opinions, and a combination of the two which tend to be seen as weakening the issues that are trying to be offered in the public sphere
Kata Kunci : media baru, kelompok masyarakat sipil, komunikasi politik, demokrasi, arena, aktor, perangkat