Laporkan Masalah

Analisis pemanfaatan bahasa minoritas secara kewilayahan di kota dumai

MUHAMMAD RIFQY, Dr. Dyah Rahmawati Hizabron, S.Si., M.T., M.Sc

2022 | Skripsi | S1 GEOGRAFI LINGKUNGAN

Dalam konteks sosial budaya, Kota Dumai sebagai wilayah studi penelitian merupakan wilayah yang kompleks. Sebagai wilayah di pesisir timur Sumatera yang menjadi tujuan migrasi masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, interaksi heterogen muncul. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui kondisi kebahasaan di Kota Dumai, (2) menganalisis hubungan masyarakat pedesaan dan perkotaan dengan penggunaan bahasa daerah di Kota Dumai, dan (3) menganalisis penggunaan bahasa daerah. generasi muda pendatang di Kota Dumai. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan informan yang telah dipilih sebelumnya yang memenuhi kriteria tertentu. Data lain yang digunakan adalah data tabulasi dengan sumber data tabulasinya sebagai berikut: (a) Sensus Penduduk 2010, (b) Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, dan (c) Potensi Desa 2018. Proses pengolahan data tabulasi dibagi menjadi beberapa tahap, dimulai dengan pengurutan data yang diunduh dari tiga sumber utama. tabulasi data Persentase penutur bahasa kemudian dihitung dengan membaginya dengan dua variabel: lokasi (kabupaten) dan nama bahasa. Prosedur ini dilakukan menggunakan Google Sheets. Selanjutnya memproses data tabulasi yang kemudian dapat digabungkan dengan tabel atribut di shapefile batas administratif. Hal ini dilakukan karena salah satu variabel dalam tahap pengolahan adalah lokasi. Data tabulasi gabungan dengan shapefile tujuan kemudian dijalankan melalui proses simbologi untuk memvisualisasikan nilai dalam tabulasi data. Metode Equal Interval digunakan untuk membagi proses simbologi menjadi 5 kelas. Mayoritas penduduk Kota Dumai (96%) adalah multilingual, dengan 99,8% penduduk berbicara bahasa Indonesia. 58,0% penduduk Kota Dumai menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi sosial. Sisanya berkomunikasi dalam bahasa ibu mereka setiap hari. Berbagai hal diamati dalam penggunaan bahasa untuk berkomunikasi di rumah. 41,5% masyarakat berkomunikasi dengan anggota rumah tangga lainnya dalam bahasa Indonesia, sedangkan sisanya menggunakan bahasa daerah, hanya 0,5% yang menggunakan bahasa asing. Bahasa Indonesia masih merupakan bahasa yang paling banyak digunakan di Kota Dumai (59,6%). Bahasa Melayu Riau terus menjadi bahasa daerah dengan persentase penggunaan tertinggi (11,4%), diikuti oleh bahasa Jawa dengan persentase 10,8%. Minang (8,1%), Aceh Hulu Singkil (4,5%), dan Batak Toba (2,0%) adalah tiga bahasa daerah yang paling banyak digunakan. Karena bahasa Indonesia (bahasa utama) dapat mengakomodasi mereka dalam interaksi multi etnis, maka generasi muda lebih memilih untuk menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari mereka. Komunitas lain, seperti komunitas Minang dan Batak, menciptakan kondisi Receptive Multilingualism dengan gagal mengajarkan dan menggunakan bahasa asli kepada generasi muda. Misalnya, Generasi Muda Aceh (lahir tahun 2000-an) tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Aceh dan tidak mengerti bahasanya. Hal ini karena mayoritas penutur bahasa Aceh tidak berbicara bahasa Aceh di rumah dan lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa utama mereka. Alasan utamanya adalah banyak penutur bahasa Aceh yang menganggap kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa Aceh relatif tidak penting

In a socio-cultural context, Dumai City as a research study area is a complex area. As a region on the east coast of Sumatra that is becoming a migration destination for people from all over Indonesia, it fosters interactions between various ethnic groups. The question of whether there are language variations in Dumai City is raised by the urban community, which is heterogeneous and innovative, and the village community, which is homogeneous and conservative. The goals of this study are to: (1) determine the linguistic conditions in Dumai City, (2) analyse the relationship between rural and urban communities and the use of regional languages in Dumai City, and (3) analyse the use of local languages in Dumai City's younger generation of migrants. In-depth interviews with pre-selected informants who meet certain criteria are used in this study. Spatial data in the form of tabulated data and shapefiles containing information about regional language speech in Dumai City were used as research materials. (a) 2010 Population Census, (b) 2018 National Socio-Economic Survey, and (c) 2018 Village Potential are the tabulated data sources. The tabulation data processing process is divided into several stages, the first of which is sorting the downloaded data from three different sources. primary data tabulation The percentage of language speakers is then calculated by dividing the number by two variables: location (district) and language name. Google Sheets is used for this procedure. The processed data is then entered into the spatial data processing stage. Spatial data processing is accomplished in stages. Begin by processing the tabulation of previously processed data, which can then be combined with the attribute table in the administrative boundary shapefile. This is done because one of the variables in the processing stage is location. The combined data tabulation with the destination shapefile is then run through a symbology process to visualise the values in the data tabulation. The Equal Interval method is used to divide the symbology process into 5 classes. The majority of Dumai City's population (96%) is multilingual (speaking multiple languages), with 99.8% of the population speaking Indonesian. According to the 2018 National Socio-Economic Survey (Susenas), 58.0% of Dumai City residents use Indonesian in social situations. The remainder communicate in their native language on a daily basis. Various things are observed in the use of language to communicate in the home. In Dumai City, 41.5% of people communicate with other household members in Indonesian, while the rest use local languages, with only 0.5% using foreign languages. According to the 2010 Population Census, Indonesian is still the most widely spoken language in Dumai City (59.6%). Riau Malay continues to be the regional language with the highest percentage of usage (11.4%), followed by Javanese with a percentage of 10.8%. Minang (8.1%), Aceh Hulu Singkil (4.5%), and Toba Batak (2.0%) are the other three most widely spoken regional languages. Because Indonesian (the main language) can accommodate them in multi-ethnic interactions, the younger generation prefers to use it as their daily language. Other communities, such as the Minang and Batak communities, create conditions for Receptive Multilingualism by failing to teach and use the native language to the younger generation. For example, the Acehnese Young Generation (born in the 2000s) cannot communicate in Acehnese and do not understand the language. This is because the majority of Acehnese speakers do not speak Acehnese at home and instead prefer Indonesian as their primary language. The main reason is that many Acehnese speakers consider their ability to use the Acehnese language to be relatively unimportant

Kata Kunci : Bahasa, Dumai, Penutur, Geolinguistik,Language, Dumai, Speakers, Geolinguistic

  1. S1-2022-411289-abstract.pdf  
  2. S1-2022-411289-bibliography.pdf  
  3. S1-2022-411289-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2022-411289-title.pdf