Digital Advocacy for Punitive Justice and Vigilantism: A Case Study of Citizens Dissatisfaction on Klitih Prevention in Yogyakarta, Indonesia.
TIMOTHY PIETER C S, Dr. Nurhadi Susanto, S.H., M. Hum.
2022 | Skripsi | S1 MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses advokasi digital dalam menanggapi kejadian Klitih di Yogyakarta, Indonesia dalam mengungkapkan ketidakpuasan publik di media sosial, khususnya Twitter, siapa aktornya, dan bagaimana hal itu akan berkontribusi pada penyelesaian masalah sosial di masa depan. Kajian ini mencari tanggapan publik di Twitter terkait kecelakaan Klitih yang terjadi pada awal April 2022 di Yogyakarta, Indonesia, dengan menggunakan API Twitter, yang dieksekusi dalam bahasa pemrograman Python. Alat analisis yang digunakan adalah analisis konten kualitatif melalui analisis statistik, analisis sentimen, analisis klasifikasi emosi, dan analisis jejaring sosial. Kami menemukan bahwa tanggapan publik kolektif di Twitter telah berhasil membentuk komunitas digital. Studi ini mengamati dua serat advokasi; main hakim sendiri dan penegakan hukum yang punitif. Sentimen negatif yang masif, kemarahan yang kolosal, dan ketakutan atas penyelesaian masalah Klitih yang berdampak pada ketidakpuasan melalui advokasi. Kami melihat badan pengambil keputusan kebijakan yang lesu dalam proses advokasi yang seharusnya sebagai komunikasi krisis yang responsif, sangat penting dalam penanganan pengaduan. Sebaliknya, publik mengadopsi strategi bias implisit yang didorong oleh paparan terus-menerus terhadap stereotip sosial dimana pemerintah sering gagal untuk menekankan urgensi krisis.
This study aims to investigate how the digital advocacy process in responding to the Klitih occurrence in Yogyakarta, Indonesia, was executed in expressing public dissatisfaction on social media, particularly Twitter, who are the actors, and how it will contribute to future social problem resolution. The study seeks the public response on Twitter regarding the Klitih accident that occurred in early April 2022 in Yogyakarta, Indonesia, by using Twitter API, executed in Python programming language. The analysis tools use qualitative content analysis through statistical analysis, sentiment analysis, emotional classification analysis, and social network analysis. We found that collective public responses on Twitter have successfully formed digital communities. This study observes two advocacy fibers; vigilantism and punitive law enforcement. Massive negative sentiments, colossal anger, and fear over how the Klitih issues are being resolved have a dissatisfaction impact through advocacy. We noticed the policy decision-making body was lethargic in the advocacy process as responsive crisis communication, which is critical in complaint handling. Instead, the public adopted an implicit bias strategy encouraged by ongoing exposure to social stereotypes in a climate where the government frequently fails to emphasize a crisis urgency.
Kata Kunci : Digital advocacy, Klitih, public dissatisfaction, street crime, Twitter.