Implementasi kebijakan pengelolaan air bawah tanah di Provinsi Jawa Barat :: Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan di era otonomi daerah
NUGRAHA, Tubagus, Drs. Josef Riwu Kaho, MPA
2003 | Tesis | S2 Ilmu Politik, (Politik Lokal dan Otonomi DaerahTiga tahun perjalanan otonomi Daerah setidaknya telah menghasilkan berbagai perubahan dalam struktur dan tata pemerintahan di Indonesia, dan berimplikasi luas terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat serta pola pengelolaan sumberdaya alam. Dari hasil elaborasi dinamika hubungan antar level pemerintahan di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bekerja, serta dengan mengkaji implikasinya terhadap masyarakat dan sumberdaya air bawah tanah dan lingkungan, maka fenomena yang terjadi sebagai akibat perubahan-perubahan berbagai kebijakan di era otonomi Daerah itu bisa diabstraksikan pada kasus implementasi kebijakan pengelolaan air bawah tanah di Jawa Barat Dengan menggunakan metode desktriptif kualitatif untuk mengelaborasi implementasi kebijakan dan didukung oleh data survey untuk mengetahui respon masyarakat terhadap perubahan kebijakan pengelolaan air bawah tanah, serta data determinasi untuk mengetahui implikasi kebijakan terhadap sumberdaya air bawah tanah dan lingkungan, selanjutnya dapat dikemukakan berbagai temuan yang ada. Implementasi kebijakan pengelolaan air bawah tanah ini menunjukkan bagaimana energi perubahan yang terjadi telah menggeser paradigma pemerintahan (Daerah) dalam memandang dan mengelola sumberdaya air bawah tanah. Lemahnya pengaturan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan air bawah tanah ini telah menimbulkan kebingungan Provinsi karena telah meniscayakan peran Pemerintah Provinsi – akibat jumbuhnya pendefinisian lintas batas untuk objek air bawah tanah –, yang pada gilirannya memercikkan sedikit konflik kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, khususnya untuk urusan yang melibatkan kepentingan lembaga dan aktor-aktornya di Kabupaten/Kota. Sementara secara filosofi pengelolaan air bawah tanah harus didasarkan pada sistem cekungan air bawah tanah yang notabene objeknya bersifat lintas Kabupaten/Kota yang dipandang menjadi kewenangan Provinsi – dimana peran Provinsi harus eksis. Sedangkan dengan spirit otonomi Daerah, jendela pandang Kabupaten/Kota sebagai kelompok sasaran kebijakan Provinsi masih terbatas pada konsepsi batas administrasi. Artinya bahwa filosofi yang terkandung dalam pengelolaan air bawah tanah bahwa one ground water basin, one planning and one integrated management, hanyalah tinggal jargon semata karena tidak ada kesepakatan dan kerjasama pengelolaan yang jelas diantara aktor-aktor yang bekerja dalam satu cekungan. Dengan kata lain, kebijakan pengelolaan air bawah tanah ini adalah suatu kebijakan yang bad luck policy implementation, karena secara filosofi dan konsep sudah baik tetapi dalam tataran operasional kurang beruntung karena masih menemui benturan dan resistensi dari Kabupaten/Kota sebagai kelompok sasaran. Dalam konteks implementasi kebijakan pajak air bawah tanah, terdapat dua hal penting terkait dengan perubahan sistem perpajakannya, yakni tata cara perhitungan dasar penetapan pajak dan mekanisme bagi hasil antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Secara umum, implikasi dari perubahan dasar penetapan pajak berakibat kepada kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar oleh masyarakat. Sedangkan untuk bagi hasil dengan pola yang telah ditetapkan melalui PP, diketahui tidak terjadi kendala atau resistensi dari Kabupaten/Kota dalam pelaksanaannya, walaupun dari sisi penerimaan Daerah, terdapat perbedaan penerimaan yang cukup signifikan untuk beberapa Daerah jika dibandingkan ketika pajak air bawah tanah masih menjadi pajak Kabupaten/Kota. Di sisi yang lain berbagai sumberdaya kebijakan yang dikerahkan untuk menjalankan fungsi pelayanan publik ternyata tidak berimplikasi terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik, malah ada kecenderungan sebaliknya. Artinya bahwa perubahan pola pelayanan publik di sektor air bawah tanah, ketika otonomi Daerah terjadi tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks tingkat keterkendalian pengelolaan air bawah tanah dan lingkungan, indeks kinerja konservasi yang dihasilkan – pada kasus cekungan Bandung – hanya 0,477 yang artinya bahwa dalam sistem cekungan implementasi kebijakan di Daerah selama ini tidak menunjukkan kinerja konservasi yang memadai. Bukti empiris ditunjukkan oleh berbagai penurunan muka air tanah di daerah padat industri, dan dari hasil analisis numerik yang menunjukkan akan adanya peningkatan daerah kritis yang cukup signifikan di Cekungan Bandung pada tahun 2013 apabila pola pengelolaan air bawah tanah masih seperti sekarang.
Decentralization policy implementation for almost three years has been changing the structure of government here in Indonesia, and has made wide implication for many aspects on development and natural resources management. Elaboration on the relationship pattern among levels of government, and analysis for the policy implication to society and groundwater resources and its environment has resulted and will be used for abstracting the phenomenon of all the changes from groundwater management policy in Jawa Barat Province. By using kualitative descriptive method for elaborating policy implementation and supporting by survey data for knowing society respons to groundwater policy changing, also use determination data for describing the implication of policy implementation to water resources dan its environment, thus could explain all the phemomenon has found. This research has shown how the energy of changing that was happened has made the government shift their paradigm on viewpoint and management groundwater resources. The weakness of central government has generated ‘the confusing’ from Province government cause their policy has determinate the Provincial Government role’s on ground water management, which made a few conflict of authority between Province and City/Regency as a consequances from misunderstanding about deliniation of groundwater borders. Otherwise, according to the philosophy of groundwater resources management, its has to base on groundwater basin as a system, which its objects across the lines or borders of adminitration. And has an assumption that the management should be at Province as a Province’s authority – where the Province’s authorithy should be excist. By the spirits of autonomy, Regency/City viewpoints as target groups still defence on adminitration borders consepts not as a basin system. Its mean, the philosophy where is contented in groundwater management actually only just nothing, cause there is no dealing and cooperating from all actors who work in its basin. Endly, groundwater management policy is a bad luck policy implementation cause according to the groundwater management philosophy and its consept has fine but when its going implementating is going unlucky cause its still found resintance and hinderance from Regency/City as target groups. On the other side, all resources used at the end could not ‘helping’ public services deterioration. Its mean that public service changing when decentralization has done not have a positve correlation to upgrading of public service quality, morely its going reverse. On ther contects of groundwater exploitation control, conservation performance index – on Bandung ground water basin – its only 0,477 that mean policy implementation on a basin as a system along the time no shown good performance. Empirical evidence was shown by decending of watertable in heavy industrial area dan from the numeric analysis that predict the wider crititical area will be happen significantly in Bandung basin in 2013 if the groundwater management still used the same pattern as present.
Kata Kunci : Otonomi Daerah, Pemda Tk I, Kebijakan Pengelolaan Air Bawah Tanah