Generasi Baru Perhutanan Sosial di Jawa: Kontestasi Kepentingan dan Peran Para Pihak dalam Lahirnya Kebijakan IPHPS
SARI RAHAYU, Prof. Dr. Ahmad Maryudi, Dr. Muhammad Alif, K. S, Dr. Dwiko Budi Permadi
2022 | Disertasi | DOKTOR ILMU KEHUTANANPerkembangan perhutanan sosial di Indonesia menunjukkan visi yang kuat untuk mempromosikan kehutanan berbasis masyarakat dan transformasi penguasaan hutan di Indonesia. Tahun 2017 Pemerintah mengeluarkan kebijakan Perhutanan Sosial khusus di wilayah kerja Perhutani yang disebut Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), dimana pemerintah memberikan izin pemanfaatan jangka panjang kepada petani lokal di lahan hutan yang dikelola oleh Perhutani. IPHPS adalah skema yang unik karena sebelumnya tidak ada perhutanan sosial berbasis izin di wilayah Perhutani. Perhutani sendiri sudah menerapkan skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di kawasan hutannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa dan bagaimana skema PS berbasis izin IPHPS ini dilahirkan di saat skema PHBM telah dijalankan selama kurang lebih dua dekade. Secara khusus penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji peran para pihak dalam agenda kebijakan lahirnya IPHPS termasuk Non-Government Organisations (NGO). Oleh karena itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap power dan jejaring antar aktor dalam perumusan kebijakan IPHPS. Penelitian ini menggunakan proses tracing, yaitu pendekatan kualitatif yang digunakan untuk membangun rantai bukti logis yang menghubungkan keterlibatan dan pengaruh para pihak terhadap suatu output kebijakan. Selanjutnya, dilakukan counterfactual analysis, yaitu konstruksi imajinatif yang mempertimbangkan apa yang mungkin terjadi jika satu variabel yang diteliti dikeluarkan dari rantai kejadian. Pengumpulan data pada penelitian ini melalui wawancara mendalam, observasi non partisipan pada berbagai kegiatan aktor yang diwawancarai terkait perhutanan sosial, dan analisis dokumen kebijakan IPHPS (termasuk drafnya) dan dokumen advokasi NGO, serta pernyataan mereka di media massa. Dibagian akhir dilakukan triangulasi untuk melakukan uji pembuktian data untuk mengonfirmasi dan menghindari bias. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa arus politik pemerintahan Jokowi-JK telah menjadi faktor pendorong yang krusial lahirnya kebijakan IPHPS. Arus politik yang kuat mendorong eskalasi arus masalah yang selama ini disuarakan untuk direspon dengan cepat dan menjadi agenda pemerintah untuk diselesaikan. Sementera itu, analisis terhadap NGO menunjukkan bahwa mereka memiliki peran yang berbeda-beda, mulai dari menemukan kecenderungan terbatasnya keterlibatan NGO progresif dalam melakukan advokasi, ada pula NGO yang terhalang untuk mengikuti proses formal selama perumusan kebijakan. Sedangkan, aktor NGO pragmatis yang bekerja dengan aktor pemerintah cenderung tidak memanfaatkan peluang untuk mempengaruhi aktor pemerintah. Secara keseluruhan, peneliti menyimpulkan bahwa model perhutanan sosial yang baru justru dibentuk oleh kepentingan kuat segelintir aktor dengan lembaga pemerintah. Hasil kebijakan itu sendiri, yaitu skema perhutanan sosial IPHPS, merupakan kompromi antara dua ekstrim, yaitu status quo skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan distribusi lahan kepada masyarakat lokal melalui pemanfaatan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
There have been strong visions to promote social and forest tenure transformations in Indonesia. How social forestry was mainstreamed, policy options were exercised, and programs have been implemented have become a vibrant area of scientific inquiry. In 2017 the government issued a particular Social Forestry policy in the working area of Perhutani called the Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), in which the Government granted long-term utilization permits to local farmers on forest land managed by Perhutani. IPHPS is a unique scheme as previously, there was no permit-based social forestry in Indonesia is implemented in state forest areas under other rights. Perhutani itself has already implemented Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) in its forest areas. This study analyzes why and how IPHPS was formulated and specifically examines the role of non-government organizations (NGOs). Furthermore, this study reveals the power and network actors analysis in IPHPS formulation. This study used a tracing process, i.e., a qualitative approach to build a logical chain of evidence linking the involvement and influence of actors in the social forestry policy process. In addition, the counterfactual analysis is used to consider what might happen if one variable under study is removed from the chain of events. Data collection in this study was conducted through in-depth interviews, non-participant observations, and analysis of IPHPS policy documents (including drafts) and NGO advocacy documents, as well as their statements in the mass media. Furthermore, conducted triangulation to test validity through the convergence of information from different sources. The study revealed that the political stream of the Jokowi-JK government had become a crucial driving factor for issuing the IPHPS policy. A strong political stream encourages the escalation of problems that have been voiced to be responded to quickly and become the government's agenda to be resolved. Furthermore, the analysis of NGOs shows that they have different roles, starting from finding the tendency for the limited involvement of "progressive NGOs in conducting advocacy. Whereas "pragmatic NGOs work with the government, they tend not to take advantage of opportunities to influence government actors. Overall, this research concludes that the new social forestry model is shaped by the strong interests of a few actors with government institutions. The result of the policy, namely the IPHPS scheme, is a compromise between two extremes, the status quo of Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) and land distribution to local communities through Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Kata Kunci : Kehutanan Masyarakat, Perumusan Kebijakan, Hutan Jawa, NGO