Laporkan Masalah

KEKERASAN EPISTEMIK TERHADAP PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT ADAT AMMATOA KAJANG DI SULWESI SELATAN

MUHAMMAD TAKBIR, Dr. Misnal Munir

2022 | Disertasi | DOKTOR FILSAFAT

Penelitian ini berjudul Kekerasan Epistemik Terhadap Pengetahuan Lokal Masyarakat Ammatoa Adat Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan. Latar belakang penelitian ini berangkat dari realitas hidup masyarakat Ammatoa yang dipandang berbeda sehingga disebut masyakat tradisional, primitif dan terasing. Oleh sebab itu, penelitian ini menelaah dimensi epistemologis yang menentukan konstruksi ontologis masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Tujuannya adalah untuk menyingkap jaringan kekuasaan dalam formasi pembentukan diskursus keammatoaan, baik di dalam ruang akademik maupun politik. Objek material penelitian ini adalah pengetahuan lokal masyarakat adat Ammatoa Kajang, sedangkan objek formalnya adalah epistemologi sosial. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang mengacu pada studi kepustakaan dengan model penelitian mengenai teori ilmiah. Ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan dua model: (1) analisis genealogis dengan unsur-unsur metodis: historis, kritis dan dekonstruktif; (2) analisis hermeneutis dengan unsur-unsur metodis: interpretasi dan aura-metodologis. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: pertama, bahwa kekerasan epistemik terhadap masyarakat Ammatoa Kajang terjadi akibat: (1) mekanisme ilmiah yang berlangsung di dalam ruang akademik yang menempatkan masyarakat Ammatoa sebagai objek - dikonstruksi berdasarkan paradigma pengetahuan positivistik (diobjektifikasi, dibayangkan dan didefinisikan); (2) mekanisme representasi di dalam ruang politik yang menempatkan masyarakat Ammatoa sebagai subjek yang pasif dan perlu diwakili. Dimensi diskursif di dalam ruang akademik ini pada gilirannya melahirkan labelling peyoratif, dan selanjutnya menjadi pijakan dalam ruang politik merumuskan regulasi; dimensi diskursif bekerja secara hegemonik sedangkan dimensi regulasi bekerja secara homogenik. Kedua, implikasi dari kekerasan epistemik tersebut adalah terjadinya bias representasi terhadap sistem pengetahuan lokal, Pasang ri Kajang, serta represi bagi aktivitas mengetahui sebagai mode of being. Keadaan ini pada akhirnya melahirkan wajah ganda (ambivalen) Pasang ri Kajang; sebagai pengetahuan traumatik di satu pihak, dan sebagai diskursus resistensi di pihak lain. Ketiga, adalah respon terhadap kolonisasi sistem pengetahuan lokal melalui proyek dekolonisasi. Proyek ini merupakan usaha reflektif bagi kemungkinan lahirnya pengetahuan emansipatif. Adapun empat agenda yang ditawarkan adalah antara lain: memikirkan ulang pengetahuan lokal, pembacaan kritis terhadap narasi pengetahuan Barat, menuliskan ulang pengetahuan lokal, dan perjuangan kelas subaltern.

This research is entitled Epistemic Violence towards the Ammatoan Indigenous Knowledge in Kajang, South Sulawesi. The background of this research departs from the reality of the Ammatoans indigenous people which is seen as different, so it is called a traditional, primitive, and isolated society. Therefore, this research scrutinizes the epistemological dimensions that determine the ontological construction of the Ammatoan indigenous people. The aim is to uncover the network of power in the formation of religious discourse, both in the academic and political spheres. The object of this research is the Ammatoan indigenous knowledge in Kajang South Sulawesi, while the formal object is social epistemology. The method used is a qualitative method which refers to the study of literature with a research model on scientific theory. Furthermore, the data are analyzed by using two models: (1) genealogical analysis with methodical elements: historical, critical, and deconstructive; (2) hermeneutical analysis with methodical elements: interpretation and methodological aura. The result is: first, that the epistemic violence of the Ammatoan indigenous people is caused by: (1) scientific mechanisms in the academic space that puts the Ammatoan indigenous people as a object - constructed based on a positivistic knowledge paradigm (objectified, imagined and defined); and (2) representation mechanism in the political space that puts the Ammatoan indigenous people as the passive subjects (needs to be represented). Furthermore, the discursive dimension in the academic space produces the pejorative labeling, and subsequently legitimates regulations in the political space; the discursive dimension works hegemonic while the regulation dimension works homogeneously. Second, the implication of the epistemic violence is the occurrence of a representational bias toward the Ammatoan indigenous knowledge system, Pasang ri Kajang, and repression of subject knowing (knowing as a mode of being). Consequently, there are two conditions of the Ammatoan knowledge system: Pasang as the traumatic knowledge on the one hand, Pasang as resistance discourse on the other hand. The third is the response to the colonization of indigenous knowledge systems through decolonization projects. This project is a reflective effort toward the possibility of the birth of emancipatory knowledge. The four decolonization agendas offered are, namely: rethinking indigenous knowledge, critical reading of Western knowledge narratives, rewriting indigenous knowledge, and subaltern class struggle.

Kata Kunci : Masyarakat Ammatoa, Pasang, kekerasan epistemik, dekolonisasi/Ammatoan indigenous people, Pasang, Epistemic violence, Decolonization

  1. S3-2022-405228-abstract.pdf  
  2. S3-2022-405228-bibliography.pdf  
  3. S3-2022-405228-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2022-405228-title.pdf