Diculke Sirahe, Digoceki Buntute: Perilaku Merokok Santri Di Pondok Pesantren Lirboyo Kota Madya Kediri

AGUS SETYAWAN, Prof. Dr. Pujo Semedi H.Y., M.A. ;Dr. Abdul Wahid, M.Phil.

2022 | Disertasi | DOKTOR ILMU-ILMU HUMANIORA

Perilaku merokok semakin menguat hingga menjadi budaya di dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di lingkungan pondok pesantren, khususnya di Pondok Pesantren Lirboyo. Institusi ini memiliki peran ganda yang ambigu dalam kaitan dengan perilaku merokok, yaitu peran sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi pengetahuan tentang hukum makruh rokok dan sekaligus sebagai tempat santri mengenal atau memulai kebiasan merokok. Berdasarkan hal tersebut muncul beberapa pertanyaan sebagai berikut:Mengapa para santri tidak bisa lepas total dari kebiasaan merokok di lingkungan pondok pesantren, padahal telah ada aturan yang melarang dan ancaman sanksi yang keras? Mengapa pesantren sebagai lembaga pendidikan keislaman, yang mengajarkan santri untuk hidup yang sesuai dengan ajaran Islam khususnya tentang kebersihan dan kesehatan, justru menjadi tempat bersemainya kebiasaan merokok? Bagaimanakah konstruksi sosial dan relasi kuasa pondok pesantren dengan pabrik rokok dalam mendorong terbentuknya kebiasaan merokok di dalam pesantren? Untuk melihat fenomena tersebut secara mendalam dilakukan riset lapangan dengan teknik participant observation. Data dicatat dengan teknik etnografi berdasarkan hasil pengamatan langsung selama satu tahun (Desember 2018- November 2019). Data diperkuat dengan observasi temporal pada setiap Kamis Legi (pengajian rutin) hingga bulan Pebruari 2020, karena setelah bulan itu terpaksa berhenti karena adanya pandemi Covid-19. Data kemudian dianalisis dengan teknik thick-description dari Clifford Geertz dengan dibantu gabungan beberapa teori. Diantaranya adalah teori kekuasaan Michel Foucault untuk melihat pola relasi kuasa yang ada antara Pondok Pesantren Lirboyo, PT. Gudang Garam dan pemerintah. Kemudian diperkuat dengan teori lessure class untuk mendekati perilaku merokok santri, serta teori assemblage untuk melihat kompleksitas relasi kuasa yang terjalin. Di Pondok Pesantren Lirboyo, aturan mengenai larangan merokok tidak didasari atas perspektif kesehatan, melainkan dari perspektif etika. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aturan membawa Surat Ijin Merokok bagi para santri di Pondok Pesantren Lirboyo. PT. Gudang Garam secara rutin memberikan bantuan dana Corporate Social Responsbility (CSR) kepada Pondok Pesantren Lirboyo secara sembunyi-sembunyi. Pemerintah Kota Kediri juga sangat membutuhkan kedua institusi ini sebagai ikon kemakmuran Kota Kediri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ambiguitas Pondok Pesantren Lirboyo ini disebabkan karena: pertama, aturan mengenai perilaku merokok tidak ketat mengikat, hanya sebatas pada wilayah etis ringan saja (makruh) dengan berpijak pada nalar fiqih dan mistik para Kyai. Kedua, pengetahuan yang diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo mengenai perilaku merokok merujuk pada hukum final makruh sehingga tidak ada konsekuensi teologis apapun jika dilakukan. Dengan kata lain tidak ada dosa jika merokok. Ketiga, hubungan antara Pondok Pesantren Lirboyo sangat jelas terjadi dengan bentuk simbiosis mutualisme, Lirboyo sebagai institusi moral keagamaan bertemu dengan PT. Gudang Garam sebagai institusi kapitalis. Keduanya membentuk wajah berupa kapitalis religius yang kemudian berkolaborasi dengan pemerintah membentuk segitiga emas politik ekonomi Indonesia

Smoking behavior is getting stronger until becoming a culture in Indonesian society. This phenomenon also occurred at Islamic boarding schools, especially at Lirboyo Islamic Boarding School. This institution has an ambiguous dual role related to smoking behavior, such as the role of giving knowledge that cigarettes are legally makruh and at the same time as the role where students get to know about cigarettes. Based on this problem, several questions arise as follows: Why could not the students be totally free from smoking in the boarding school environment, even though there were rules that prohibited it and the threat of harsh sanctions? Why did pesantren as an Islamic educational institution, which taught students to live according to Islamic teachings, especially regarding hygiene and health, precisely became a breeding ground for smoking? How were the social construction and the power relationship between the Islamic boarding schools and the cigarette factories in encouraging the formation of smoking habits in Islamic boarding schools? To find out this phenomenon in depth, field research was carried out using the participant observation technique. Data was recorded using ethnographic techniques based on direct observations for one year (December 2018 -November 2019). The data was strengthened by temporal observations on every Legi Thursday (routine recitation) until February 2020, after that it was forced to stop due to the Covid-19 pandemic. Then the data were analyzed using the thick description technique from Clifford Geertz by helping the combination of several theories. Among these theories is the theory of power by Michel Foucault to determine the pattern of power relations that exist among the Lirboyo Islamic Boarding School, PT. Gudang Garam and the government. Then it was strengthened by the leisure class theory to determine the smoking behavior of students, and the assemblage theory to determine the complexity of the power relations that existed. At the Lirboyo Islamic Boarding School, the regulation regarding the smoking ban was not based on a health perspective, but from an ethical perspective. This is indicated by the existence of rules for bringing smoking permits for students at the Lirboyo Islamic Boarding School. PT. Gudang Garam routinely provides financial assistance in the form of Corporate Social Responsibility (CSR) to the Lirboyo Islamic Boarding School secretly. The government of Kediri also needed these two institutions as the icons of Kediri's prosperity. The results of this study indicated that the ambiguity of the Lirboyo Islamic Boarding School was due to: First, the rules regarding smoking behavior were not strictly binding, only limited to mild ethical areas (makruh) based on the reasoning fiqh and mystical of the Kyai. Second, the knowledge that was taught at the Lirboyo Islamic Boarding School regarding smoking behavior referred to the final law of makruh so that there would be no theological consequences if it was done. In other words, there was no sin if you smoked. Third, the relationship between the Lirboyo Islamic Boarding School was clear in the form of a symbiotic mutualism, Lirboyo as a religious moral institution met PT. Gudang Garam as a capitalist institution. So the relationship formed the face of the religious capitalist and was supported by collaborating with the government. Thus, the golden triangle of Indonesian economic politics was formed.

Kata Kunci : rokok, santri, makruh, pondok pesantren