Laporkan Masalah

Konflik dan Pembelahan Elit GAM Pasca Damai Aceh (Perspektif Sosiologi Politik)

AKMAL SAPUTRA, Prof. Dr. Heru Nugroho; Dr. Arie Sujito, M.Si

2022 | Disertasi | DOKTOR SOSIOLOGI

Pasca damai Aceh, GAM telah bertransformasi dari gerakan pemisahan diri (self determination) ke gerakan politik ditingkat lokal (self goverment) sekaligus diberikan kesempatan dan peluang untuk berkontestasi dalam arena pilkada ditingkat lokal Aceh. GAM yang sebelumnya bersatu dalam ideologi Nasionalisme Aceh kemudian terus terbelah ketika bertransformasi ke gerakan politik. GAM sebagai elit politik lokal baru di Aceh yang tidak memiliki pengalaman politik terus mengalami konflik, pembelahan hingga berkontestasi sesama elit GAM hingga puncak fragmentasinya di Pilkada 2017 dengan menghadirkan dua partai lokal yang dibentuk oleh masing faksi-faksi dari GAM yaitu Partai Aceh dan Partai Nanggroe Aceh. Pilkada 2017, masing-masing faksi GAM, baik Partai Aceh maupun Partai Nanggroe Aceh mulai membangun afiliasi dengan partai-partai nasional dengan segala kepentingannya. Penelitian ini mengkaji tentang konflik dan pembelahan elit GAM dalam arena pilkada di Aceh, adapun titik fokusnya pada melacak mengapa GAM terus mengalami konflik, pembelahan elit hingga berkontestasi sesama elit GAM mulai pilkada 2006, 2012 hingga 2017? Penelitian ini menggunakan teori konflik Randall Collins untuk menjelaskan mengapa GAM terus mengalami pembelahan? Apa yang melatarbelakangi GAM terus mengalami konflik dan pembelahan dalam arena pilkada di Aceh? Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Adapun informannya adalah tokoh GAM sipil dan GAM kombatan yang tergabung dalam Partai Aceh dan Partai Nanggroe Aceh dan anggota KPA (Komite Peralihan Aceh) dan juga tokoh-tokoh akademisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, GAM pasca damai mengalami transformasi ideologi Nasionalisme Aceh dari Nasionalisme Aceh-Self Detemination ke Nasionalisme Aceh-Self Government. Transformasi ideologi ini kemudian melahirkan varian baru yaitu GAM yang berideologi Nasionalisme Aceh-Konservatif yang tergabung dalam Partai Aceh dan GAM yang berideologi Nasionalisme Aceh-Moderat yang tergabung dalam Partai Nanggroe Aceh dan juga beberapa GAM yang independen tanpa bergabung dengan partai atau keluar dari partai lokal. Adapun basisnya, mantan combatan cenderung bergabung ke Partai Aceh, sedangkan non combatan atau GAM sipil cenderung menjadi basisnya Partai Nanggroe Aceh. Varian ideologi GAM ini terus mengalami konflik dalam arena pilkada dan pileg di Aceh dengan berbagai strateginya untuk mencapai kemenangan. GAM pasca damai terus mereproduksi kembali ideologinya dalam bentuk perayaan-perayaan dan simbol-simbol, baik peringatan Haul Hasan Tiro, Milad GAM, Mou Helsinki dan juga bendera dan lambang. Mereproduksi kembali ideologi GAM menjadi hal yang penting, agar GAM terus mendapatkan pengakuan secara politik.

After the peace in Aceh, GAM has transformed from a self-determination movement to a political movement at the local level (self-government) while at the same time being given the opportunity and opportunity to contest in the regional election arena at the Aceh local level. GAM, previously united in the ideology of "Aceh Nationalism," then continued to divide when it transformed into a political movement. As a new local political elite in Aceh, GAM, with no political experience, continued to experience conflict, division, and contestation among GAM elites until the peak of its fragmentation in the 2017 Pilkada by presenting two local parties formed by each of the factions of GAM, namely the Partai Aceh and the Partai Nanggroe Aceh In the 2017 Pilkada, each GAM faction, both the Partai Aceh and the Partai Nanggroe Aceh, began to build affiliations with national parties with all their interests. This study examines the conflict and division of the GAM elite in the pilkada arena in Aceh, while the focus point is on tracing why GAM continues to experience conflict, elite division, and contesting fellow GAM elites from the 2006 regional elections, 2012 to 2017. This study uses Randall Collins' conflict theory to explain why GAM continues to divide? What is the background for GAM to continue to experience conflict and division in the pilkada arena in Aceh?. This study uses qualitative research with observation, in-depth interviews, and documentation data collection techniques. The informants are civil GAM figures and GAM combatants who are members of the Partai Aceh and Partai Nanggroe Aceh and members of the KPA (Aceh Transitional Committee) as well as academics. The results showed that post-peace GAM transformed Acehnese Nationalism ideology from Acehnese Nationalism-Self Determination to Acehnese Nationalism-Self Government. This ideological transformation became a new variant, namely GAM, with the ideology of Acehnese-Conservative Nationalism, which joined the Partai Aceh. GAM, whose ideology was Aceh-Moderate Nationalism, joined the Partai Nanggroe Aceh and several independent GAM without entering the party or leaving local parties. As for the basis, former combatants tend to join the Partai Aceh, while non-combatants or civilian GAM tend to be the basis of the Partai Nanggroe Aceh. This variant of GAM's ideology continues to experience conflict in the regional and legislative elections in Aceh with various strategies to achieve victory. Post-peace GAM continues to reproduce its ideology through celebrations and symbols, including the commemoration of Haul Hasan Tiro, GAM's Milad, Mou Helsinki, and flags and symbols. Reproducing GAM's ideology is essential so that GAM continues to gain political recognition.

Kata Kunci : Konflik Elit GAM, Pembelahan GAM, Varian Nasionalisme Aceh, Reproduksi Ideologi GAM.

  1. S3-2022-405375-abstract.pdf  
  2. S3-2022-405375-bibliography.pdf  
  3. S3-2022-405375-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2022-405375-title.pdf