Secondary Sanction sebagai Strategi Politik Luar Negeri: Upaya Mempertahankan Hegemoni Amerika Serikat pada Era Donald Trump

RAFI AQUARY, Dr. Luqman-nul Hakim

2022 | Skripsi | S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perluasan sanksi yang diterapkan Amerika Serikat (AS), khususnya secondary sanction pada masa pemerintahan Donald Trump. Berbeda dengan bentuk sanksi lainnya, secondary sanction merupakan sanksi yang menyasar kepada aktor yang tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan sang penarget. Dengan utamanya mengoperasionalisasikan konsep weaponized interdependence, tulisan ini berargumen bahwa perluasan tersebut perlu dipahami sebagai bagian dari strategi politik luar negeri AS dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai hegemon dalam politik global yang dinamis. Argumen ini didukung tiga prakondisi penting: (1) keberadaan kerangka legal-formal domestik AS yang menunjang; (2) dominasi AS dalam struktur finansial global; dan (3) kemajuan pesat dalam teknologi yang berkenaan dengan secondary sanction. Ketiga prasyarat tersebut diperkuat dengan institusionalisasi secondary sanction yang dilakukan pada administrasi Trump, eratnya kolaborasi antara sektor publik dan privat, serta penegakan atas kepatuhan yang tinggi terhadap secondary sanction. Instrumen ini juga ditempuh agar Trump tetap dapat berkonsentrasi lebih dalam ranah domestik sesuai dengan janji kampanyenya di bawah slogan 'America First'.

This thesis aims to explain the expansion of sanctions applied by the United States (US), especially secondary sanctions during the Donald Trump administration. In contrast to other forms of sanctions, secondary sanctions are sanctions that target actors who are not directly related to the sanctioning actor. Operationalizing mainly through the concept of weaponized interdependence, this paper argues that this expansion needs to be understood as part of the US foreign policy strategy in order to maintain its status as a hegemon in dynamic global politics. This argument is supported by three important preconditions: (1) the existence of a supportive US domestic legal framework; (2) US dominance in the global financial structure; and (3) rapid advances in technology sector regarding secondary sanctions. These three prerequisites are strengthened by the institutionalization of secondary sanctions carried out by the Trump administration, the close collaboration between the public and private sectors, and the enforcement of high compliance of the secondary sanction. This instrument was also adopted so that Trump could continue to concentrate more on the domestic sphere in accordance with his campaign promise under the slogan 'America First'.

Kata Kunci : Secondary sanction, strategi politik luar negeri Amerika Serikat, instrumen koersif, Donald Trump, weaponized interdependence / Secondary sanction, United States foreign policy strategy, coercive instrument, Donald Trump, weaponized interdependence