Laporkan Masalah

MODELING HYDROLOGICAL PROCESSES IN HUMID TROPICAL WATERSHED USING SWAT: A CASE STUDY IN CENTRAL JAVA WATERSHED, INDONESIA

NUGROHO CHRISTANTO, Prof.Dr.rer.nat Junun Sartohadi, M.Sc ; Dr. M Pramono Hadi, M.Sc

2022 | Disertasi | DOKTOR ILMU GEOGRAFI

Deforestasi telah meningkat pesat di banyak daerah tropis dalam beberapa dekade terakhir. Jawa, pulau terpadat di Indonesia, berada di bawah tekanan lingkungan yang meningkat. Populasi yang padat menyebabkan konversi hutan yang signifikan. Kelangkaan pangan mengharuskan konversi dan perluasan lahan. Di Jawa, lingkungan tropis yang lembab, deforestasi mengubah perilaku hidrologis dan meningkatkan arus puncak. Selama musim hujan, ini meningkatkan risiko banjir. Penyimpanan air musim kemarau berkurang. DAS Serayu, Bogowonto, dan Serang di Jawa memiliki tanah vulkanik yang dalam dan produktif. Cuaca ekstrem dan perubahan tata guna lahan menghasilkan iklim dan hidrologi yang ekstrem, termasuk banjir dan kekeringan di daerah aliran sungai tropis terpenting di Jawa. Kerusakan lahan di hulu mengurangi tingkat produksi pangan. Tidak tersedianya data hidroklimat dan penelitian hidrologi merupakan isu tropis yang cukup terkenal. Oleh karena itu, penelitian hidrologi daerah tangkapan air terpadu harus diprioritaskan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model hidrologi semi-terdistribusi untuk DAS tropis lembab di Jawa Tengah. A) Menilai kapasitas model hidrologi SWAT di wilayah yang miskin data; B) Menentukan sensitivitas model terhadap parameter penting untuk membantu pemahaman model dan memandu pengumpulan data di masa mendatang untuk operasi pemodelan. Model SWAT dapat membantu mengkarakterisasi proses hidrologi skala DAS. Model SWAT memungkinkan peneliti untuk menguji pengaruh perubahan penggunaan lahan pada metrik hidrologi spesifik tanaman dan komponen neraca air. Sensitivitas parameter model SWAT di DAS Jawa bervariasi. Studi sensitivitas CN untuk DAS Serayu Hulu adalah +59%, Bogowonto Hulu: +62% dan DAS Serang adalah +58%. Karena modifikasi melebihi 100% dari input, CN dianggap sangat sensitif. 50% perubahan tutupan vegetasi (penggunaan lahan) adalah +53 persen untuk Serayu Hulu, +50 persen untuk Bogowonto Hulu, dan +47 persen untuk DAS Serang. Kemiringan, KSat, dan kerapatan curah dianggap cukup sensitif, sedangkan AWC sedikit sensitif karena variasi sekitar 50%. Studi sensitivitas CN untuk DAS Serayu Hulu adalah +59%, Bogowonto Hulu: +47% dan DAS Serang +60%. Karena modifikasi melebihi 100% dari input, CN dianggap sangat sensitif. 50% perubahan tutupan vegetasi (penggunaan lahan) berturut-turut adalah +59%, +58%, dan +52% untuk DAS Serayu Hulu, Bogowonto Hulu, dan DAS Serang. Kemiringan, KSat, dan kerapatan curah dianggap cukup sensitif, sedangkan AWC sedikit sensitif karena variasi sekitar 50%. Hasil pemodelan menyiratkan bahwa aliran debit diremehkan. Pembacaan PBIAS positif (SOIL LAB: 9.7 dan 13.5; SOILGRID: 10.7 dan 15.5 untuk stasiun bumi dan input cuaca global) menunjukkan keadaan ini. Simulasi ini menunjukkan bahwa menggunakan pengukuran tanah meningkatkan debit aliran di DAS Serayu Hulu dibandingkan dengan data global. Hasilnya adalah RRMSE 0,70, R2 0,7, dan PBIAS 15,5. Namun, NSE: 0.45 menunjukkan kinerja model yang memuaskan untuk mengintegrasikan kedua kumpulan data global (Cuaca Global dan SOILGRODS). Model ini bekerja lebih baik dalam memanfaatkan data stasiun bumi. NSE: 0,80, RRMSE: 0,42, R2: 0,82, PBIAS: 9,7.

Deforestation has accelerated in many tropical areas in recent decades. Java, Indonesia's most populous island, is under increasing environmental stress. A dense population leads to significant forest conversion. Food scarcity necessitated land conversion and expansion. In Java, a humid tropical environment, deforestation changes hydrological behaviour and raises peak flows. During the wet season, this increases flood risk. Dry season water storage reduces. The Serayu, Bogowonto, and Serang watersheds in Java have deep and productive volcanic soil. Extreme weather and land-use change generate climatic and hydrological extremes, including floods and droughts in Java's most important tropical watershed. Upstream land deterioration reduces food production rates. The unavailability of hydro-climatic data and hydrological research are well-known tropical issues. As a result, integrated catchment hydrology research should be prioritized. This study aims to develop a semi-distributed hydrological model for a humid tropical catchment in Central Java. A) Assess the SWAT hydrological model's capacity in a data-poor region; B) Determine the model's sensitivity to crucial parameters to aid in model comprehension and guide future data gathering for modelling operations. The SWAT model can help characterize watershed-scale hydrological processes. The SWAT model allows researchers to examine the influence of land-use changes on crop-specific hydrological metrics and water balance components. The SWAT model parameters sensitivity in the Java watershed varies. The CN sensitivity study for Upper Serayu Watershed is +59%, Upper Bogowonto: +62% and Serang Watershed is +58%. Because the modifications exceed 100% of the input, CN is deemed highly sensitive. 50% changes in vegetation cover (land use) are + 53 per cent for Upper Serayu, +50 per cent for Upper Bogowonto, and +47 per cent for Serang Watershed. Slope, KSat, and bulk density are considered fairly sensitive, while AWC is slightly sensitive due to variations of around 50%. The CN sensitivity study for Upper Serayu Watershed is +59%, Upper Bogowonto: +47% and Serang Watershed is +60%. Because the modifications exceed 100% of the input, CN is deemed highly sensitive. 50% changes in vegetation cover (land use) are +59%, +58%, and +52% for Upper Serayu, Upper Bogowonto, and Serang Watersheds, respectively. Slope, KSat, and bulk density are considered fairly sensitive, while AWC is slightly sensitive due to variations of around 50%. Modelling results imply that discharge flows are underestimated. The positive PBIAS readings (SOIL LAB: 9.7 and 13.5; SOILGRID: 10.7 and 15.5 for ground station and global weather inputs) show this circumstance. These simulations show that using ground measurements improves discharge flows in the Serayu Upper Catchment compared to global data. The result is RRMSE 0.70, R2 0.7, and PBIAS 15.5. However, the NSE: 0.45 indicates a satisfactory model performance for integrating both global datasets (Global Weather and SOILGRODS). The model performs better utilizing ground station data. NSE: 0.80, RRMSE: 0.42, R2: 0.82, PBIAS: 9.7.

Kata Kunci : Daerah Tropis, Model Hidrologi, Model SWAT, Dataset Global

  1. S3-2022-405238-abstract.pdf  
  2. S3-2022-405238-bibliography.pdf  
  3. S3-2022-405238-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2022-405238-title.pdf