INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DALAM TERAPI LINI 2 DENGAN SARKOMA KAPOSI

ELSA KEJORA, Dr. dr. Ida Safitri Laksanawati, Sp.A(K).; dr. Neti Nurani, M.Kes, Sp.A(K)

2022 | Tesis-Spesialis | ILMU KESEHATAN ANAK

Latar belakang Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) pada anak masih merupakan masalah kesehatan secara global. Salah satu komplikasi infeksi HIV adalah sarkoma Kaposi, yang merupakan neoplasma pada sel endotel yang berkaitan dengan infeksi human herpes virus (HHV)-8. Penyakit ini tergolong sangat jarang, terutama pada usia anak. Walaupun demikian, seiring dengan peningkatan insidensi infeksi HIV, insidensi sarkoma Kaposi turut meningkat. Literatur terkini menunjukkan bahwa luaran pasien dengan sarkoma Kaposi secara umum adalah baik setelah pemberian kombinasi ARV yang efektif dan kemoterapi. Kasus Seorang anak perempuan dengan HIV/AIDS dipantau saat anak berusia 11 tahun. Sejak lahir pasien memiliki kelainan kulit berupa plak hiperpigmentasi di lutut, lipat paha, tungkai kanan bawah, lengan kanan, hingga pinggang kanan. Hasil biopsi kulit menunjukkan sarkoma Kaposi, namun pasien belum mendapat terapi spesifik. Pasien pernah mengalami gagal terapi HIV/AIDS dan saat ini dalam terapi ARV lini 2. Dua tahun setelah memulai ARV lini 2, pasien mulai mengalami hematochezia berulang yang diikuti dengan anemia berulang. Beberapa upaya diagnostik untuk hematochezia berulang telah dilakukan, termasuk pemeriksaan ultrasonografi abdomen, CT scan abdomen, dan colon in loop. Penegakan diagnosis definitif dengan biopsi kolonoskopi tidak dapat dilakukan akibat keterbatasan alat. Pasien didiagnosis sebagai suspek sarkoma Kaposi visceral berdasarkan hasil patologi anatomi dan imunohistokimia dari preparat biopsi kulit sebelumnya. Protokol kemoterapi untuk sarkoma Kaposi pada anak disusun dengan regimen paclitaxel. Pasien telah menerima kemoterapi dan menunjukkan respon terapi berupa perbaikan lesi kulit dan penurunan ukuran massa tumor secara radiologis pada kemoterapi siklus pertama, namun tidak menunjukkan respon pada kemoterapi siklus kedua. Tidak ada efek samping kemoterapi selama pengamatan, namun terjadi penurunan angka CD4 dan peningkatan viral load durante kemoterapi. Kesimpulan Luaran utama yang tercapai antara lain tidak terjadi mortalitas, kualitas hidup lebih baik, serta didapatkan keberhasilan terapi. Luaran yang belum tercapai adalah status gizi baik dan masih didapatkan komorbid anemia berulang sebagai salah satu faktor prognostik kejadian mortalitas. Melalui pengamatan ini juga telah dihasilkan protokol kemoterapi untuk sarkoma Kaposi pada anak dan telah diberikan kepada pasien.

Background Human immunodeficiency virus (HIV) infection in children remains to be a global healh bden. One of he comlicaion of HIV infecion i Kaoi acoma, which is an endothelial cell neoplasm associated with human herpes virus (HHV)8 infection. Kaposi carcinoma which is an endothelial cell neoplasm associated with human herpes virus (HHV)8 infection. Kaposi acoma I eae,eeciallinchildenn. However, as the incidence of HIV infection increases, the incidence of Kaposis sarcoma also increases. Current findings showed that the general outcome of patients with Kaposis sarcoma is good following the administration of highly active antiretroviral therapy (HAART) and chemotherapy combination. Case A girl with HIV/AIDS was observed when she was 11 years old. Since birth, she had skin disorders in the form of hyperpigmented plaques on her knees, groin, right lower leg, right arm, and right waist. The result of skin biopsy revealed Kaposis sarcoma, but she had not received specific therapy. The patient previously had a HIV/AIDS treatment failure and is currently on second line therapy. Two years after starting second line ART, the patient began to experience recurrent hematochezia followed by recurrent anemia. Several diagnostic attempts for recurrent hematochezia have been performed, including abdominal ultrasonography, abdominal CT scan, and colon in loop. Establishing a definitive diagnosis by colonoscopy and biopsy is not possible due to equipment limitations. The patient was diagnosed as suspected visceral Kaposis sarcoma based on the histopathology and immunohistochemistry results from previous skin biopsy specimen. The chemotherapy protocol for Kaposis sarcoma in children was made with a regimen of paclitaxel. The patient had received chemotherapy and showed some responses in the form of skin lesions improvement and tumor mass size reduction in the first cycle of chemotherapy, but did not show responses to the second cycle of chemotherapy. There were no side effects of chemotherapy during the observation, but there was a decrease in CD4 cell count and an increase in viral load during chemotherapy. Conclusion The main outcomes achieved include no mortality, better quality of life, and no treatment failure for HIV infection. The outcomes that have not been achieved are good nutritional status and the absence of anemia as a comorbidity and one of the prognostic factors for mortality. Through this observation, a chemotherapy protocol for Kaposis sarcoma in children was made and has been given to the patient.

Kata Kunci : Sarkoma Kaposi, infeksi HIV, hematochezia, ARV, kemoterapi, hematochezia, HAART, chemotherapy