Mitos dan Realitas Toleransi: Segregasi Ruang Berbasis Agama di Wilayah Urban Yogyakarta
NUR QUMA LAILA, Prof. Dr. Irwan Abdullah
2022 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGIYogyakarta yang dideklarasikan sebagai the city of tolerance justru memperlihatkan adanya diskriminasi yang mewujud dalam segregasi ruang berbasis agama. Sejalan dengan hal tersebut, studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana segregasi ruang berbasis agama mewujud di wilayah urban Yogyakarta; bagaimana faktor yang menjadi dasar adanya segregasi ruang berbasis agama di wilayah urban Yogyakarta; serta bagaimana segregasi ruang berbasis agama mempengaruhi harmoni sosial masyarakat urban Yogyakarta. Studi ini bersandar pada pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif melalui observasi, wawancara dan studi literatur dengan analisis deskriptif. Penelitian yang dilakukan di wilayah urban Yogyakarta menemukan bahwa segregasi ruang berbasis agama mewujud dalam 3 hal yakni (1) adanya perumahan dengan identitas agama tertentu sebagai wujud dari pelabelan identitas dalam rekrutmen sosial (eksklusifisme); (2) adanya praktik jual beli tanah (property right) hanya pada orang dengan keyakinan yang sama; dan (3) adanya segregasi dalam penerimaan sosial (social exclusion) yang nampak pada rumah kos-kosan atau penginapan dengan label agama tertentu. Segregasi ruang berbasis agama tersebut merefleksikan adanya diskriminasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat urban Yogyakarta. Studi ini menyimpulkan bahwa segregasi ruang berbasis agama yang terjadi di wilayah urban Yogyakarta menjadi preseden yang secara simbolik mengkomunikasikan disharmoni dalam masyarakat. Segregasi ruang berbasis agama mencerminkan adanya aksi-aksi diskriminasi yang mempengaruhi harmoni sosial masyarakat. Diskriminasi memungkinkan terjadinya berbagai bentuk aksi intoleransi. Aksi intoleransi terjadi karena kurangnya interaksi antar kelompok masyakarat yang berbeda akibat dari terbentuknya lingkungan yang cenderung monoculture dan homogen. Hal ini membentuk isolasi-isolasi sosial yang memisahkan satu dengan yang lain. Selain itu, kurangnya interaksi sosial berpotensi menimbulkan sentimen-sentimen antar kelompok menyebabkan lahirnya ketegangan abadi dalam masyarakat. Dengan demikian, segregasi ruang berbasis agama telah menyebabkan pada rentannya konflik dan aksi diskriminasi yang terjadi di wilayah urban Yogyakarta. Oleh karena itu, studi ini menyarankan perlunya kebijakan yang mengatur ruang sebagai ruang bersama agar tidak terjadi eksklusifisme atas kepemilikan ruang pada agama tertentu.
Yogyakarta, which was declared as the city of tolerance, actually shows the existence of discrimination that manifests in religious-based spatial segregation. In line with this, this study aims to explain how religious-based spatial segregation manifests in the urban area of Yogyakarta; what are the factors that become the basis for the existence of religious-based spatial segregation in the urban area of Yogyakarta; and how religious-based spatial segregation affects the social harmony of the Yogyakarta urban community. This study relies on data collection with a qualitative approach through observation, interviews and literature study with descriptive analysis. The study which was conducted in the urban area of Yogyakarta found that religious-based spatial segregation manifested itself in 3 ways, namely (1) the existence of housing with a certain religious identity as a form of identity labeling in social recruitment (exclusivity); (2) the practice of buying and selling land (property rights) only to people with the same belief; and (3) the existence of segregation in social acceptance (social exclusion) that appears in boarding houses or inns with certain religious labels. The religious-based spatial segregation reflects the discrimination that occurs in the life of the urban community of Yogyakarta. This study concludes that the religious-based spatial segregation that occurs in the urban area of Yogyakarta is a precedent that symbolically communicates disharmony in society. Religion-based spatial segregation reflects the existence of discriminatory actions that affect the social harmony of the community. Discrimination allows for various forms of intolerance. Actions of intolerance occur because of the lack of interaction between different social groups as a result of the formation of an environment that tends to be monoculture and homogeneous. This forms social isolation that separates one from another. In addition, the lack of social interaction has the potential to cause inter-group sentiments to create lasting tensions in society. Thus, religious-based spatial segregation has led to the vulnerability of conflicts and acts of intolerance that occur in the urban area of Yogyakarta. Therefore, this study suggests the need for policies that regulate space as a shared space so that there is no exclusivity over the ownership of space in certain religions.
Kata Kunci : Segregasi Ruang, Intoleransi, Konflik Keagamaan, Hubungan Antar Agama