Legalitas Dekrit Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

AFIFUDIN, A, Dr. B. Sukismo, SH.,M.H

2003 | Tesis | S2 Ilmu Hukum

Dalam lintasan sejarah ketatanegaraan Indonesia, telah terjadi dua kali Dekrit Presiden, yaitu Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno dan Dekrit 23 Juli 2001 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam realisasinya, keduanya berbeda, meski sama-sama didasarkan pada Hukum Darurat Negara. Dekrit pertama dinyatakan sah secara hukum, bahkan menjadi landasan pemberlakuan kembali UUD 1945, sedangkan Dekrit kedua dinyatakan sebaliknya. Ketidakkonsistenan dalam penerimaan terhadap Dekrit mencerminkan ketidakjelasan sistem ketatanegaraan dalam mengatur hal tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji secara mendalam bagaimana sesungguhnya Dekrit Presiden itu ditinjau dari segi ilmu hukum kenegaraan dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini merupakan kombinasi tipe penelitian hukum empiris dan tipe penelitian hukum normatif. Tipe penelitian hukum normatif merupakan titik berat dalam penelitian ini. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini berupaya untuk menemukan asas-asas dan teori hukum tentang keberadaan Dekrit Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Adapun tipe penelitian hukum empiris bersifat hanya sebagai pelengkap untuk mendukung kebenaran dari hasil penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berlakunya Dekrit Presiden sangat dipengaruhi situasi politik yang berkembang pada saat itu. Meskipun Dekrit itu sah secara hukum, karena didasarkan pada Hukum Darurat Negara, tetapi legalitasnya masih harus menunggu penetapan hukum secara konstitusional. Maka berlakunya Dekrit sangat tergantung pada kemauan politik dari alat-alat kelengkapan negara (TNI dan Polri) untuk menjadikannya sebagai produk hukum kenegaraan yang berlaku. Sebelum ada penetapan hukum terhadap Dekrit, maka hukum kenegaraan yang berlaku pada saat itu menjadi kabur. Kendati demikian, hukum lama masih tetap berlaku hingga ditetapkannya Dekrit menjadi hukum baru. Seharusnya Dekrit itu tidak boleh terjadi dalam sebuah sistem ketatanegaraan Indonesia, tetapi dalam situasi tertentu (darurat negara), hal itu diperlukan sebagai tindakan penyelamatan negara.

In the historical record of Indonesian constitution, there were two Presidential Decrees, namely, the Decree of July 5, 1959 issued by President Soekarno and the Decree of July 23, 2001 by President Abdurrahman Wahid. Both Decrees were, in fact, different, although they were based upon State Emergency Law. The first Decree was considered legitimate, and it, even, became the basis of the reaffirmation of the 1945 Constitution; meanwhile, the latter was on the contrary.The inconsistency in the acceptance of those decrees has reflected the vagueness of the constitutional system in addressing that problem. This research is, therefore, aimed at thoroughly analyzing how the Presidential Decree should be seen from the constitutional jurisprudence’s point of view in the context of the Indonesia’s constitutional system. This research is a combination of empirical legal research and normative one. However, the emphasis of the research conducted is a normative legal research, since it is aimed to find out legal principles and theories on the existence of Presidential Decree in Indonesia’s constitutional system. In this regard, the empirical legal research has been conducted as a complement to support the validity of teh normative research’s outcome. The research finding has shown that the promulgation of Presidential Decrees was obviously influenced by the existing political situation. Even though the Decree was regarded legal since it was based upon the State Emergency Law, its legitimacy required legal affirmation. Therefore, the effectiveness of the Decree depended very much on political will from the state institutions and apparatus (including army and police) to make it as an effective legal product. Before the decree was legally affirmed, the existing constitutional law at that time was vague. However, the previous law and regulations were still effective until the Decree concerned was established as a positive law. Presidential Decree (in the sense of Dekrit, instead of Keputusan Presiden) should be avoided in Indonesia’s constituional system, unless it is in state emergency since it will be needed to protect the state.

Kata Kunci : Hukum Tata Negara,Dekrit Presiden,Legalitas, Legitimacy, Presidential Decree, and Constitutional System