Rekonseptualisasi Hukum Acara Pengujian Formil Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi
AHMAD ILHAM WIBOWO, Andy Omara, S.H., M.Pub&Int.Law, Ph.D
2022 | Tesis | MAGISTER HUKUM BISNIS DAN KENEGARAANTerdapat 2 (dua) tujuan penelitian ini yakni, pertama, untuk menganalisis koherensi hukum acara pengujian formil dengan praktik pengujian formil undang-undang di Mahkamah Konstitusi dan kedua, untuk melakukan rekonseptualisasi hukum acara pengujian formil UU di MK. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan 3 (tiga) pendekatan yakni pertama, pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait pengujian formil undang-undang di Mahkamah Konstitusi dan hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang. Kedua, pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan mempelajari pandangan-pandangan dengan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum terkait pengujian formil undang-undang oleh lembaga yudikatif dan hukum acara mahkamah konstitusi pengujian formil UU. Ketiga, pendekatan kasus (case approach) dengan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan pengujian formil undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan menolak dan menyatakan tidak terima dengan alasan tidak memenuhi legal standing. Terdapat 2 (dua) hasil penelitian ini yakni, pertama, terdapat inkoherensi hukum acara pengujian formil dengan praktik pengujian formil UU di MK dalam ketentuan terkait legal standing, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, pembuktian, serta pengambilan keputusan. Kedua, perlu dilakukan rekonseptualisasi hukum acara pengujian formil UU di mahkamah konstitusi yang meliputi, (1) diaturnya ketentuan legal standing yakni memiliki hubungan pertautan yang langsung antara para pemohon dengan undang-undang yang diajukan pengujian formil ini harus diatur dalam hukum acara pengujian formil undang-undang di MK dalam tataran peraturan perundang-undang; (2) dalam tahapan pengajuan, ditegakkannya ketentuan pengajuan permohonan dengan tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah UU yang akan diuji disahkan; (3) dalam tahapan pemeriksaan pendahuluan, hakim MK perlu diberikan kewenangan untuk, menolak permohonan jika ketentuan nasehat perbaikan yang diberikan tidak diindahkan oleh pemohon dan meminta penjelasan dan tambahan alat bukti kepada pihak terkait untuk menguatkan dalil pemohon; (4) dalam tahapan pemeriksaan persidangan, perlu ditegaskannya pemisahan pengujian formil dengan materiil, diaturnya batasan waktu dalam pelaksanaan pengujian formil undang-undang, dianutnya ruang penundaan pemberlakuan suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian formil; (5) dianutnya pembalikan beban pembuktian yang bersifat tidak murni atau terbatas dan berimbang (partial reversal burden of proof); dan (6) dalam tahapan pengambilan keputusan, perlu dibuka ruang bagi hakim untuk menjatuhkan putusan berupa perbaikan terhadap ketentuan formil undang-undang dengan tenggat waktu tertentu. Perlu ditegaskan pengaturan hukum acara pengujian formil undang-undang yang diatur dalam tataran UU dan peraturan mahkamah konstitusi.
There are 2 (two) purposes of this study, namely, first, to analyze the legal coherence offormil testing event law with the practice of testing formil laws in the constitutional court and secondly, to reconceptiize the law of formil testing event in constitutional court. This research is a normative legal research using 3 (three) approaches, namely first, the statute approach by reviewing all laws and regulations governing the testing of laws in the constitutional court and the constitutional court's event law in legal testing. Second, the conceptual approach by studying views with doctrines in the legal sciences related to the testing of formil laws by judicial institutions and the law of the constitutional court event testing formil laws. Third, the case approach by reviewing cases related to the testing of formil laws in the constitutional court whose ruling states rejects and states not accepting on the grounds of not meeting legal standing. There are 2 (two) results of this study, namely, first, there is legal incoherence of formil testing events with the practice of testing formil laws in the constitutional court in provisions related to legal standing, preliminary examination, trial examination, proof, and decision making. Second, it is necessary to reconceptitalize the law of the legal testing event in the constitutional court which includes, (1) the regulation of legal standing provisions that have a direct link between the applicants and the law proposed formil testing must be regulated in the law of the formil testing event of the law in the constitutional court at the level of legislation; (2) in the submission stage, the enforcementof the application application by a deadline of 45 (forty-five) days after the law to be tested is passed; (3) in the stage of preliminary examination, the judge of the Court needs to be given the authority to, reject the application if the provisions of the improvement advice given are not heeded by the applicant and request explanation and additional evidence to the relevant parties tocorroborate the applicant's proposition; (4) in the examination stage of the trial, it is necessary to affirm the separation of formil testing with materiil, the regulation of time limits in the implementation of legal formil testing, the inclusion of a delay room for the enactment of a law requested formil testing; (5) the reversal of the burden of proof that is not pure or limited and balanced (partial reversal burden of proof); and (6) In the decision-making stage, it is necessary to open space for the judge to hand down a decision in the form of improvements to the provisions of the law with a certain deadline. It is necessary to emphasize the legal arrangement of the testing event procedural judicial review that are regulated in the state of the laws and regulations of the constitutional court.
Kata Kunci : Hukum Acara Pengujian Formil Undang-Undang, Pengujian Formil Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi