Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolisis Batu Bara dengan Kapasitas 946.000 Ton/Tahun

MUHAMMAD AZAM AMIRULLOH, Ir. Imam Prasetyo, M.Eng., Ph.D.

2021 | Skripsi | S1 TEKNIK KIMIA

Batu bara merupakan bahan bakar hidrokarbon yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba yang mengalami proses fisika dan kimia selama jutaan tahun. Potensi sumber daya batu bara di Indonesia sangat besar. Sebagian besar batu bara di Indonesia tersebar di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Produksi batu bara diperkirakan akan terus meningkat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor). Jenis batu bara yang ada di Indonesia adalah jenis batu bara tingkat rendah yaitu lignit dan sub-bituminus. Beberapa teknologi yang dapat mengolah batubara berperingkat rendah adalah dengan proses liquifaksi dan gasifikasi. Teknologi proses liquifaksi merupakan teknologi untuk memperoleh nafta yang merupakan bahan baku dalam produksi senyawa aromatis dengan cara perengkahan batu bara dengan bantuan gas hidrogen, proses ini bisa disebut dengan hydropyrolysis. Teknologi proses gasifikasi adalah merubah komponen batu bara yang memiliki nilai kalor rendah menjadi syngas yang memiliki nilai kalor lebih tinggi. Pemanfaatan batu bara berperingkat rendah dengan teknologi ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan batu bara sehingga dihasilkan produk yang mudah dikonversi menjadi sumber energi dan berbagai macam bahan baku industri kimia yang utamanya adalah senyawa aromatis seperti Benzen, Toluen dan Xylen. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pendirian pabrik hydropyrolysis batu bara menarik untuk dikembangkan. Pendirian pabrik ini akan membantu meningkatkan pemanfaatan sumber daya batu bara di Indonesia, terutama batu bara berperingkat rendah seperti lignit dan subbituminous dibandingkan jika hanya langsung diekspor saja keluar negeri. Senyawa aromatis (benzene, toluene, xylene) dapat disintesis dari nafta yang merupakan senyawa hasil dari proses cracking minyak bumi. Nafta juga bisa diperoleh dari batubara, salah satunya dengan proses hydropyrolisis. Proses ini membutuhkan bantuan hidrogen dan solven phenanthrene sebagai agen utama pada proses hydropyrolisis. Kondisi operasi dari reaktor hydropyrolisis mencapai suhu 490oC dan tekanan 160 atm. Setelah dipisahkan dalam Menara Distilasi MD-01, nafta diambil sebagai hasil paling atas untuk diproses dalam catalytic reforming. Pada proses ini, nafta diubah menjadi berbagi senyawa aromatis, non aromatis dan gas ringan melalui 2 reaktor catalytic reforming yang disusun seri dengan katalis Pt/Al2O3. Kondisi operasi untuk reaktor ini adalah 510 oC dan 3,5 atm. Campuran senyawa aromatis, non-aromatis dan gas ringan yang merupakan hasil dari proses catalytic reforming kemudian dipisahkan melalui beberapa alat seperti knock out drumxi serta beberapa sequence menara distilasi hingga didapatkan hasil senyawa aromatis murni seperti benzene, toluene, xylene, etil benzene dan cumene. Melalui beberapa proses yang dipaparkan, pabrik ini memiliki produk yang beragam seperti benzene, toluene dan mixed xylenes sebagai produk utama dan etil benzene serta cumene sebagai produk samping. Pabrik ini direncanakan berdiri dengan kapasitas produksi senyawa aromatis (benzene toluene, dan xylene) sebesar 946.000 ton/tahun. Berdasarkan kapasitas tersebut, diperlukan bahan baku utama yaitu batu bara yang diperoleh dari PT. Kaltim Prima Coal, Kalimantan Timur sebanyak 566.444 kg/jam serta gas hidrogen dari PT. Aneka Gas Industri sebanyak 9480 kg/jam. Ada pun kebutuhan bahan pendukung seperti phenanthrene yang diimpor dari Liaoyang Guanghua Chemical Co., China sebesar 35.100 kg/jam. Pabrik senyawa aromatic (benzene,toluene dan xylene) ini direncanakan berdiri pada tahun 2026 di Bontang, Provinsi Kalimantan Timur. Lokasi ini dipilih karena berdekatan dengan tambang batubara yaitu PT. Kaltim Prima Coal dan berdekatan dengan produsen hidrogen yaitu PT. Aneka Gas Industri yang keduanya berada di Kota Bontang. Selain itu letak Kota Bontang juga dekat dengan laut sebagai penyedia air untuk keperluan operasi pabrik. Kebutuhan listrik untuk menjalankan pabrik ini meliputi listrik sebanyak 11 MW/tahun. Sedangkan kebutuhan air make-up untukutilitas diperoleh dari air laut sebanyak 960 ton/jam, udara instrument sebanyak 1.456.413,98 kg/jam, dan bahan bakar sebanyak 66.777 kg/jam. Pada pabrik ini, modal tetap yang diperlukan sebesar $163.050.028,31+Rp 1.366.292.668.707,12 dan modal kerja $164.993.877,73 + Rp 18.297.671.355,35. Laba sebelum pajak $ 119.567.881,36 /tahun dan laba sesudah pajak $ 119.567.881,36 /tahun. Dari evaluasi ekonomi yang telah dilakukan terhadap pabrik Aromatis dari Hydropyrolisis Batubara dengan kapasitas 946.000 ton/tahun didapatkan ROI sebelum pajak (ROIb) sebesar 46,35%, nilai ini di atas ROIb minimum untuk pabrik kimia dengan tingkat resiko tinggi, yaitu 44%. POT sebelum pajak (POTb) selama 1,77 tahun, nilai ini di bawah POTb maksimum untuk pabrik kimia dengan tingkat resiko tinggi, yaitu 2 tahun. BEP didapat sebesar 43,31 %,Batas kapasitas BEP sebesar 40-60% sehingga pabrik memenuhi syarat. Nilai SDP pabrik sebesar 24,46%. DCFRR sebesar 27,78%, nilai ini lebih besar 2,3 kali dari Minimum Acceptable Rate of Return (MARR) untuk pabrik kimia di Indonesia yaitu sebesar 12%. Dengan mempertimbangkan hasil perhitungan evaluasi ekonomi di atas, maka pabrik Aromatis dari Hydropyrolisis Batubara dengan kapasitas 946.000 ton/tahun layak untuk dikaji lebih lanjut

Coal is a hydrocarbon fuel formed from the remains of ancient plants that underwent physical and chemical processes for millions of years. The potential of coal resources in Indonesia is very large. Most of the coal in Indonesia is spread on the islands of Kalimantan and Sumatra. Coal production is expected to increase, not only to meet domestic demand, but also to meet foreign (export) demand. The types of coal in Indonesia are low grade coal, namely lignite and sub-bituminous. Several technologies that can process low rank coal are liquefaction and gasification processes. The liquefaction process technology is a technology to obtain naphtha which is a raw material in the production of aromatic compounds by cracking coal with the help of hydrogen gas, this process is called hydropyrolysis. The technology of the gasification process is to change the components of coal that have a low heating value into syngas which has a higher heating value. Utilization of low-rank coal with this technology is one of the efforts to increase the utilization of coal to produce products that are easily converted into energy sources and various kinds of raw materials for the chemical industry, mainly aromatic compounds such as Benzene, Toluene and Xylene. Based on these things, the establishment of a coal hydropyrolysis plant is interesting to be developed. The establishment of this factory will help increase the utilization of coal resources in Indonesia, especially low-rank coal such as lignite and sub-bituminous compared to being exported directly to other countries. Aromatic compounds (benzene, toluene, xylene) can be synthesized from naphtha which is a product of the petroleum cracking process. Naphtha can also be obtained from coal using hydropyrolysis process. This process requires the help of hydrogen and phenanthrene as the main agent in the hydropyrolysis process. The operating conditions of the hydropyrolysis reactor reached a temperature of 490oC and a pressure of 160 atm. After being separated in the MD-01 Distillation Tower, naphtha is taken as the top product for processing in catalytic reforming. In this process, naphtha is converted into various aromatic, non-aromatic compounds and light gases through 2 catalytic reforming reactors arranged in series with a Pt/Al2O3 catalyst. The operating conditions for this reactor are 510oC and 3.5 atm. The mixture of aromatic, non-aromatic compounds and light gases which are the result of the catalytic reforming. Those mixture are separated through several tools such as knock out drums and several distillation tower sequences to obtain pure aromatic compounds such as benzene, toluene, xylene, ethyl benzene and cumene. Through those several processes that have been described before, this factory has various products such as benzene, toluene and mixed xylenes as main products and ethyl benzene and cumene as by-products. This factory is planned to be established with a production capacity of 946,000 tons of aromatic compounds (benzene, toluene, and xylene). Based on this capacity, the main raw material, coal obtained from PT. Kaltim Prima Coal, East Kalimantan as much as 566,444 kg/hour and hydrogen gas from PT. Aneka Gas Industri as much as 9480 kg/hour. There is also the need for supporting materials such as phenanthrene imported from Liaoyang Guanghua Chemical Co., China as much as 35,100 kg/hour. This aromatic compound factory (benzene, toluene and xylene) is planned to be established in 2026 in Bontang, East Kalimantan Province. This location was chosen because it is close to a coal mine, namely PT. Kaltim Prima Coal and a hydrogen producer, namely PT. Aneka Gas Industri, both are located in Bontang City. In addition, the location of Bontang City is also close to the sea as a provider of water for factory operations. The electricity requirement to run this factory as much as 11 MW/year. Meanwhile, the need for make-up water for utilities is obtained from sea water as much as 960 tons/hour, air instrument as much as 1,456,413.98 kg/hour, and fuel as much as 66,777 kg/hour. In this factory, the fixed capital required is $163,050,028.31+Rp 1,366,292,668,707.12 and working capital is $164,993,877.73 + Rp 18,297,671,355.35. Profit before tax $119,567,881.36/year and profit after tax $119,567,881.36/year. From the economic evaluation that has been carried out on the Aromatic Plant from Hydropyrolysis Coal with a capacity of 946,000 tons/year, the ROI before tax (ROIb) of 46.35% is obtained, this value is above the minimum ROIb for chemical plants with a high risk level, which is 44%. POT before tax (POTb) for 1.77 years, this value is below the maximum POTb for a chemical factory with a high risk level, which is 2 years. BEP obtained by 43.31%, BEP capacity limit of 40-60% so that the factory meets the requirements. The factory SDP value is 24.46%. DCFRR is 27.78%, this value is 2.3 times higher than the Minimum Acceptable Rate of Return (MARR) for chemical plants in Indonesia, which is 12%. Taking into account the results of the above economic evaluation calculations, the Aromatic plant from Coal Hydropyrolysis with a capacity of 946,000 tons/year is worthy of further study.

Kata Kunci : Batu bara, Hydropyrolisis, Prarancangan, Benzena, Toluena, Xylena