Laporkan Masalah

Berebut Akses Setelah Konflik: Gerakan Aceh Merdeka dalam Pusaran Politik dan Bisnis di Aceh Barat Pasca Perjanjian Helsinki 2005

VELLAYATI HAJAD, Prof. Susetiawan; Dr. Amalinda Savirani

2021 | Disertasi | DOKTOR ILMU POLITIK

Fokus penelitian ini adalah proses reintegrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca Perjanjian Helsinki 2005 dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan ekonomi dan politik lokal di Kabupaten Aceh Barat. Para mantan kombatan yang sebelumnya tinggal di hutan dan dalam konteks perang, kini memasuki kehidupan baru dengan damai. Di bidang politik, pembukaan kondisi politik lokal melalui desentralisasi dan pemilihan kepala daerah secara langsung telah mempercepat reintegrasi ini; sedangkan di bidang ekonomi, re-integrasi kehidupan mantan gerilyawan ditandai dengan upaya mereka yang konsisten untuk mengakses sumber daya. Eks kombatan GAM ini ada dua kelompok, yakni sayap militer dan kelompok sipil. Mereka menggunakan kesempatan ekonomi dan politik ini untuk mengakses sumber daya dalam membangun kehidupan baru mereka. Pertanyaan pokok dari studi ini adalah: bagaimana proses re-integrasi mereka terhadap mantan gerilyawan, khususnya di Aceh Barat? Apa strategi mereka untuk mengakses sumber daya, dan bagaimana politik berperan? Dan apa dampak dari keterlibatan ekonomi ini terhadap perekonomian Aceh Barat secara umum? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disertasi ini menerapkan teori akses yang dirumuskan oleh Ribot dan Pelusso (2003 dan 2020). Teori ini berada dalam pendekatan ekonomi politik. Konsep akses menurut mereka adalah kemampuan untuk mengambil manfaat dari sesuatu. Ada tiga dimensi di dalamnya: bagaimana mendapatkannya (gaining), bagaimana mengontrolnya (controlling) dan bagaimana merawatnya (maintaining). Ada berbagai instrumen atau mekanisme yang digunakan, salah satunya adalah penggunaan instrumen identitas sosial dan hubungan sosial. Orang yang memperoleh akses politik secara otomatis mencapai kesuksesan dalam akses bisnis/ekonomi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Ada empat temuan utama dalam penelitian ini. Pertama, mantan kombatan GAM (militer dan sipil) menggunakan strategi akses yang berbeda. GAM sipil pada umumnya menggunakan instrumen legal-formal-prosedur seperti melalui Pilkada dan pemilihan legislatif daerah; sedangkan GAM militer menggunakan mekanisme ilegal dan koersif. Kedua, dalam mengontrol akses, GAM sipil menggunakan mekanisme transaksional, sedangkan GAM militer menggunakan hubungan kekerabatan dan ideologi GAM. Ketiga, dalam menjaga akses, GAM sipil mengutamakan materi (cash money) sebagai instrumen untuk menjaga akses, sedangkan GAM militer menggunakan instrumen non-materi kesetiaan ideologis. Penggunaan instrumen ideologis ini membuat GAM militer lebih kuat dan unggul dari GAM sipil. Keunggulan sayap militer GAM di Aceh Barat agak berbeda dengan yang terjadi di tingkat provinsi, di mana sayap sipil menguasai medan kekuasaan. Di tingkat provinsi, aspek ideologis tidak terlalu digunakan oleh militer GAM; relatif ada kesetaraan antara GAM sipil dan militer. Keempat, dilihat dari konteks ekonomi politik lokal dalam ekonomi lokal Aceh Barat, re-integrasi mantan gerilyawan dalam politik dan ekonomi, tidak banyak mengubah kondisi ekonomi makro. Mantan kombatan GAM diuntungkan dari dana khusus tetapi tingkat kemiskinan masih tinggi di Aceh Barat, meskipun demokrasi lokal diperkuat. Dengan demikian, ada dampak yang berbeda dari aspek ekonomi dan politik. Karena dana otonomi khusus akan berakhir pada 2028, kita dapat menduga perubahan dalam pola lanskap mantan gerilyawan dalam mengakses sumber daya pada saat itu.

The focus of this study is the process of reintegrating Gerakan Aceh Merdeka (GAM) or Aceh Movement for Freedom after the 2005 Helsinki Agreement, in their daily life including in economic activities and local politics in Aceh Barat District. The former combatants who previously lived in the forest and in the context of war, are now entering a new life in peaceful. In the political field, an opening up of local political conditions throught decentralization and direct local election have accelerated this re-integration; while in the economic sector, the reintegration of ex-combatants' life is marked by their consistent attempt to access resources. There are two groups in these ex-GAM combatants namely the military wing, and the civilians ones. They use this economic and political opportunity to access resources in building their new life. The main question of this study is: how has the process of their re-integration of ex-combatants taken place, particularly in Aceh Barat? What are their strategies to access the resources, and how politics came into play? And what are the impact of this economic involvement on the general economy of Aceh Barat? To answer these question, this dissertation applied theory of access that Ribot and Pelusso (2003 and 2020) formulated. This theory is situate within a political economy approach. The concept of access according to them is the ability to take benefit from something. There are three dimensions to it: how to get it (gaining), how to control it (controlling) and how to care for it (maintaining). There are various instruments or mechanisms used, one of which is the use of social identity and social relations instruments. People who gain political access automatically achieve success in business/economic access. This research used a qualitative method. There are four main findings in this study. First, former GAM combatants (military and the civilian) used different access strategies. Civilian GAM in general uses legal-formal-procedural instruments such as through the Pilkada and regional legislative elections; while military GAM uses illegal and coercive mechanisms. Second, in controlling access, civilian GAM uses transactional mechanisms, while military GAM uses kinship relationsip and GAM ideology. Third, in maintaining access, civilian GAM prioritizes material (cash money) as an instrument to maintain access, while military GAM uses non-material instrument ideological loyalty. The use of this ideological instrument makes military GAM stronger and superior to civilian GAM. The superiority of military wing of GAM in Aceh Barat is rather different from what happened at the provinncial level, where civilian wing controls the power field. At the provincial level, the ideological aspect was not used very strongly by the military GAM; there is relatively equality between Civilian and military GAM. Forth, looking from the context of the local political economy in local economy of Aceh Barat, the re-integration of ex-combatants in politics and economy, did not change much macro economic condition. Ex-GAM combatants were benefitted from special fund but poverty rate is still high in Aceh Barat, although local democracy is strengthened. Thus, there are different impact from economic and political aspect. Since the fund will end in 2028, we can expect a change in the landscape pattern of ex-combatants in accessing resources by then.

Kata Kunci : perebutan, akses, politik dan bisnis, eks GAM, pasca konflik; alternation, access, politics and business, ex-GAM, post-conflict

  1. S3-2021-405371-abstract.pdf  
  2. S3-2021-405371-bibliography.pdf  
  3. S3-2021-405371-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2021-405371-title.pdf