STIGMA DAN INKLUSI SOSIAL PADA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN STIKER "KELUARGA MISKIN" BAGI PENERIMA MANFAAT PKH DESA JIMBUNG, KECAMATAN KALIKOTES, KABUPATEN KLATEN
AVITA NUR `AINI, Dr. Phil. Ely Susanto, S.I.P., MBA
2021 | Skripsi | S1 MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIKIndonesia telah melakukan banyak upaya dalam pengentasan kemiskinan salah satunya dengan kebijakan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH). Kemiskinan dan menjadi penerima manfaat bantuan sosial dapat memicu rasa malu dan berkembangnya stigma dalam masyarakat. Namun, fenomena di Kabupaten Klaten justru memberikan stiker dengan kata Keluarga Miskin bagi penerima manfaat bantuan sosial. Melihat hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi kebijakan stiker Keluarga Miskin dalam mengelola stigma dan pengaruhnya terhadap inklusi sosial pada penerima manfaat bantuan sosial PKH. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penlitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk melihat pengalaman narasumber terkait stigma pada stiker Keluarga Miskin dan implikasinya terhadap inklusi sosial. Adanya stiker Keluarga Miskin dipelajari dan dicermati berdasarkan fenomena yang dialami olen masyarakat penerima manfaat PKH dengan konsep stigma dan inklusi sosial. Hadirnyan stigma dilihat dari tiga tingkatan stigma yaitu stigma pribadi, sosial dan institusional juga melihat targeting/penargetan sebagai salah satu fitur kebijakan yang dapat menunjang stigma. Sedangkan inklusi sosial berkaitan dengan dimensi inklusi dalam kehidupan ekonomi, dalam layanan sosial juga dalam partisipasi di kehidupan sipil dan jaringan sosial. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa stigma hadir dalam konteks kebijakan bantuan sosial PKH di Desa Jimbung terlebih dengan adanya stiker Keluarga Miskin. Adanya stiker Keluarga Miskin mendorong stigma hadir pada tiga tingkatan yaitu stigma pribadi dengan merasa malu dan takut akan mendapat pandangan yang berbeda dari orang lain karena stiker, stigma sosial juga diterima dengan mendapat perkataan tidak baik dari masyarakat, juga stigmal institusional dalam bentuk desain kebijakan stiker dengan kata Keluarga Miskin. Namun, dengan adanya stigma ini tujuan dari stiker untuk mendorong bantuan sosial yang tepat sasaran dapat tercapai meski belum maksimal karena terhalang adanya pandemi Covid-19 dan pola pikir masyarakat. Selain itu, adanya stigma pada bantuan sosial PKH dan stiker Keluarga Miskin tidak berpengaruh negatif pada mayoritas inklusi sosial penerimanya dengan didukungan oleh program bantuan sosial lainnya seperti BSPS, KIS, juga adanya kuota afirmasi pada penerimaan siswa baru. Budaya ewuh pakewuh dan tolong menolong juga turut membantu tercapainya inklusi sosial. Rekomendasi yang dapat diberikan pada penelitian ini berkaitan dengan diadakan survei secara rutin sebagai bentuk dari monitoring kebijakan, dilaksanakan kembali kegiatan rutin P2K2 dengan ditambah materi mengenai pembahasan tujuan dan target sasaran dari bantuan sosial PKH, serta pada penelitian selanjutnya diharapkan lebih mempertimbangkan proporsi narasumber.
Indonesia has made many efforts in alleviating poverty, one of which is the social assistance policy of the Program Keluarga Harapan (PKH). Poverty and being a beneficiary of social assistance can lead to shame and the development of stigma in society. However, the phenomenon in Klaten Regency actually gave stickers with the words "Keluarga Miskin" for beneficiaries of social assistance. Seeing this, this study aims to identify and analyze the implementation of the "Keluarga Miskin" sticker policy in managing stigma and its effect on social inclusion in PKH beneficiaries. This research was conducted using a qualitative research method with a phenomenological approach to see the experience of the informants regarding the stigma on the "Keluarga Miskin" sticker and its implications for social inclusion. The existence of the "Poor Families" sticker was studied and observed based on the phenomena experienced by the PKH beneficiary communities with the concepts of stigma and social inclusion. The presence of stigma is seen from three levels of stigma, namely personal, social and institutional stigma, and also sees targeting as one of the policy features that can support stigma. While social inclusion is related to the dimension of inclusion in economic life, in social services as well as in participation in civic life and social networks. The results of this study indicate that stigma is present in the context of the PKH social assistance policy in Jimbung Village, especially with the "Poor Family" sticker. The existence of the "Poor Family" sticker encourages stigma to exist at three levels, namely personal stigma by feeling ashamed and afraid of getting a different view from others because of the sticker, social stigma is also accepted by receiving bad words from the community, as well as institutional stigma in the form of policy designs sticker with the word Poor Family. However, with this stigma, the purpose of the sticker to encourage targeted social assistance can be achieved even though it has not been maximized because it is hindered by the Covid-19 pandemic and people's mindsets. In addition, the stigma on PKH social assistance and the "Poor Families" sticker does not negatively affect the majority of social inclusion recipients with the support of other social assistance programs such as BSPS, KIS, as well as the affirmation quota for new student admissions. The culture of "ewuh pakewuh" and mutual help also helps to achieve social inclusion. Recommendations that can be given in this research relate to conducting regular surveys as a form of policy monitoring, re-implementing regular P2K2 activities with added material regarding the discussion of the goals and targets of PKH social assistance, and in future research it is hoped that the proportion of resource persons will be more considered.
Kata Kunci : Stigma, Inklusi Sosial, Bantuan sosial, Stiker Keluarga Miskin, PKH