HIDUP DI PINGGIRAN PABRIK SEMEN: SEBUAH CERITA TENTANG STRATEGI EKONOMI PETANI LAHAN KERING
YAYUM KUMAI, Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, MA
2021 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGIKasus pembangunan industri pertambangan yang merangsek sejumlah besar lahan pertanian banyak memunculkan reaksi perlawanan masyarakat atas nama agraria di berbagai tempat. Namun, apa yang saya temukan di Tuban, tepatnya di desa yang saya sebut Waturejo, tidaklah demikian. Alih-alih menemukan kelompok masyarakat pemberontak yang arogan, saya lebih mendapati kenyataan bahwa masyarakat menunjukkan reaksi penerimaan. Hal ini saya simpulkan dari reaksi masyarakat Waturejo yang justru beramai-ramai ingin bekerja di dalam pabrik semen. Kenyataan ini menuntun arah penelitian saya menjadi dua topik bahasan. Pertama, cara pemerintah dan industri tambang menerapkan kekuasaannya terhadap masyarakat petani, sehingga tidak memunculkan perlawanan. Kedua, cara orang Waturejo melakukan strategi ekonominya setelah sejumlah besar lahan pertanian diubah menjadi kawasan pertambangan. Penelitian ini menggunakan dua kerangka berpikir untuk membantu pembacaan fenomena di atas yaitu, Governmentality dari Michael Foucault dan konsep Keseimbangan dari Chayanov sebagai dasar logika ekonomi keluarga petani. Sebagai entitas terpinggirkan selama berabad-abad, nenek moyang mereka dikenal sebagai orang Kalang penghuni hutan Jawa, orang Waturejo merupakan kriteria utama sasaran program pembangunan dan kesejahteraan pemerintah. Ditambah lagi, pertanian lahan kering di Waturejo dipandang sebagai sumber ekonomi yang tidak produktif. Maka dari itu, dalih penyejahteraan ini pula yang dipakai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Semen Gresik, sekarang menjadi PT Semen Indonesia Grup, ketika menyerobot lahan-lahan pertanian warga. Mereka memberi janji untuk meneteskan kemakmuran kepada masyarakat petani dengan pembukaan lowongan pekerjaan di pabrik dan uang kompensasi lahan. Janji inilah yang ditafsirkan dan dijalankan secara unik oleh orang Waturejo.
Cases of mining industry development which grabbing thousand acres of agricultural land creates lots of people resistance reaction on behalf of agrarian crisis in many places. Yet, what I was found in Tuban, in the village called Waturejo exactly, is unlike though. Instead of discovered the arrogant rebel community, I tended to face the fact that the peasant shows an acceptance reaction. I conclude this from peasant in Waturejo who are actually scrambling to get a job in cement factory. This fact leads my research direction into two topics of discussion. First, the way of state apparatus and the corporation governs peasants in Waturejo, thus they do not give such a loud counter-reaction. Second, the economic strategy of Waturejo people in dealing with agrarian degradation in the aftermath of farming land conversion into the mining area. This research using two frameworks to help me read the phenomena above, that is Governmentality of Michael Foucault and the concept of Balance from Chayanov as the primer economy logic of peasant family. Waturejo people are the main criteria for the improvement of prosperity target of the government. Not only just because they have been seen as the marginal entity for centuries, but also the dryland farming in Waturejo is conceived as the unproductive economy resources. Therefore, State-Owned Enterprises (BUMN) PT Semen Gresik, now is turning into PT Semen Indonesia Grup, apply this reason too, when they grabbed agricultural land massively. They equivocate that the corporation would trickling down the prosperity through the job vacancy in the cement factory and such pay of land compensation. This kind of promise of corporation that is interpreted and implemented uniquely by Waturejo people.
Kata Kunci : industrialisasi, penyerobotan lahan pertanian, dan strategi ekonomi petani