Konflik antar pemuka agama tentang tradisi tahlilan :: Studi kasus di Kampung Blunyah Gede Yogyakarta
KHOIRUDDIN, Akhmad Yusuf, Drs. Rahardjo, MSc
2002 | Tesis | S2 SosiologiPenelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui fenomena dan latar belakang perihal Konflik Antar Pemuka Agama Tentang Tradisi Tahlilan. Dengan fokus perhatian pada bagaimana tradisi tahlilan memiliki potensi untuk memunculkan konflik sosial diantara sesama pemuka agama, bagaimana implikasi dari adanya konflik sosial karena tradisi tahlilan tersebut, serta dimaknai macam apakah tradisi tahlilan tersebut oleh pihak-pihak yang berkonflik. Penelitian ini dilakukan di kampung Blunyah Gede, kalurahan Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta dengan menggunakan pendekatan kualitatif, deskriptif-analisis. Sedang teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara merrdalam dan dokumentasi. Subyek penelitian ini adalah 11 orang sebagai key informan yang terdiri dari 2 orang pemuka agama, 3 tokoh masyarakat, dan 6 orang anggota masyarakat biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi Tahlilan sebelumnya kurang begitu hidup di kalangan masyarakat Blunyah Gede. Karena sebelumnya afiliasi theologis masyarakat cenderung berafiliasi ke Muhammadiyah. Namun ketika terj adi kondisi vacum of power kepemimpinan kehidupan keagamaan karena kematian salah seorang pemuka agama sentral, menjadikan pemuka agama yang pro-tahlilan memiliki peluang untuk melakukan penetrasi tradisi tahlilan pada msyarakat. Setelah peluang tersebut muncul, ternyata ditanggapi tidak rela oleh pemuka agama lain yang anti-tahlilan, sehingga kemudian tejadi konflik antar pemuka agama yang bersifat latent. Konflik yang ada tersebut membutuhkan media kanalisasi konflik, memunculkan safety-valve institution, serta juga memunculkan hubunganhubungan patronase pada masing-masing kelompok internal pihak yang berkonflik. Masyarakat yang berada pada strata grass-root memaknai konflik yang ada tentang tradisi tahlilan tersebut tidak dengan melalui perspektif konflik yang bernuansa theologis, namun lebih kepada pemahaman-pemahaman hubunganhubungan horisontal sosial dari pemuka agama yang sedang berkonflik. Selain itu, bagaimana retorika dakwah dari masing-masing pemuka agama yang sedang berkonflik, dijadikan variabel signifikan bagi masyarakat untuk memposisikan diri pada pusaran konflik yang sedang berlangsung. Ketika masyarakat telah mengambil sikap kepada siapa menentukan pilihan pada pemuka agama yang sedang berkonflik, di sisi lain mereka tidak berkeinginan untuk merusakkan keharmonisan sosial yang sebelumnya telah tercipta dalam kehidupan sosialnya. Terlebih lagi, ha1 tersebut diback-up secara konsisten oleh pemuka agama yang pro-tahlilan. Kondisi semacam ini menjadikan masyarakat Blunyah Gede semakin menunjukkan fenomena ke arah menerima keberadaan tradisi tahlilan.
This research is aimed to know the phenomena and the background of the tahlilan tradition conflicts among the religious leaders (Islam). The research is focused on how the tahlilan tradition has potential to arise social conflicts among the same religious leaders, how the implication of social conflict is caused by the tahlilan tradition, and how the Milan tradition is understood by those who are in conflicts. This research is held in Blunyah Gede Village, Sinduadi Mlati-Sleman- Yogyakarta by using qualitative approach, descriptive analysis. Whereas the data collecting technique used are observation, deep interview, and documentation. The research subjects are 11 persons acting as key informers consisting of 2 religious leaders, 3 community figures, and 6 common peopie. The research outputs indicate that the tahlilan tradition was previously less lively among Blunyah Gede communities. This condition is caused by the community’s theological affiliation tend to affiliate with Muhammadiyah. When the vacuum of power happened, since one of the religious leaders is dead, the other religious leaders who are supporting tahlilan tradition have opportunity to penetrate the tahlilan tradition in the community. After the opportunity comes up, in fact, it is not agreed by some other religious leaders who are against the tradition. As a result, latent conflicts happen among them. The existing conflicts need conflict canalization media, arises safety-valve institution, and also arises patronage relationship among internal groups who are in conflict. The community members at the grass root strata do not see the tahlilan tradition conflict through the conflict perspective which has theological nuance, but they see it through the social-horizontal relationship which the conflicting religous leaders propose. Besides, the remarks from each religous leader have been seen as a significant variable in the community to place themselves in conflict circle which is being on progress. When the community members have taken attitude towards who determines choices toward the conflicting religious leaders, on the other hands, they do not want to destroy the social harmony which previously exist in their social life. Moreover, it has been supported consistently by the religious leaders who are pro-tahlilan tradition. Such condition makes Blunyah Gede communities tend to show phenomena regarding the accepting of tahlilan tradition existence.
Kata Kunci : Konflik, Vacum of Power, Tahlilan, Pemuka Agama, Conflict, Vacuum of Power, Religious leader