Interdependensi Ekonomi dan Konflik Politik Korea Selatan-Jepang: Dalam Isu Korban Perang Dunia Kedua 2017-2019
FATHOM ALIM HUSAINI, Siti Daulah Khoiriati, MA.
2021 | Skripsi | S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALHubungan antara Jepang dan Korea Selatan seringkali dideskripsikan secara sederhana dengan "cold politics, hot economics". Berkebalikan dengan aspek ekonomi yang hangat, hubungan politik antara kedua negara justru tidak terlalu erat. Kedua negara memiliki sejarah yang pelik akibat penjajahan yang dilakukan Jepang terhadap Korea Selatan pada perang dunia kedua. Isu historis tersebut kembali terangkat pada tahun 2017 setelah Korea Selatan melalui jalur hukum menuntut perusahaan manufaktur Jepang, yaitu Nippon Steel, Sumitomo Metal, dan Mitsubishi Heavy Industry untuk membayar ganti rugi bagi warga Korea Selatan yang dipekerjakan secara paksa oleh Jepang pada masa perang dunia kedua. Permasalahan ini lalu berkembang menjadi rentetan sengketa perdagangan setelah Jepang membalas tuntutan tersebut dengan menerapkan pembatasan ekspor dan mecoret Korea Selatan dari daftar whitelist dagang. Korea Selatan lalu membalas lagi dengan melakukan boikot produk dan pariwisata Jepang, serta mencoret Jepang dari daftar whitelist-nya. Terlepas dari peliknya permasalahan, persoalan ini berhenti tereskalasi setelah Perdana Menteri Korea Selatan dan Perdana Menteri Jepang menggelar dialog dan saling menyatakan betapa pentingnya hubungan bilateral antara kedua negara pada pertemuan bilateral di Tokyo pada Oktober 2019. Skripsi akan menjelaskan faktor apa saja yang membuat konflik ini dapat tidak tereskalasi menjadi konflik militer, meskipun isu yang disengketakan merupakan isu yang sensitif dan penting bagi kedua negara. Skripsi ini akan memfokuskan analisisnya pada pengaruh interdependensi ekonomi antara kedua negara terhadap terjadinya konflik politik antara Jepang dan Korea Selatan pada tahun 2017-2019. Skripsi ini menggunakan konsep mekanisme kausalitas untuk mengidentifikasi hubungan kausalitas antara interdependensi ekonomi dengan terjadinya konflik politik. Skripsi akan menggunakan metode penelitian kualitatif dan mengambil data dengan cara studi pustaka.
The relationship between Japan and South Korea is often described with simple term "cold politics, hot economics". In contrast to the warm economic relation, the political relations between the two countries are not always on a good term. Their relation are complicated due to history issue as the Japanese once occupy South Korea in the World War II. This historical issue raised again in 2017 after South Korea went through legal channels to sue Japanese manufacturing companies Nippon Steel, Sumitomo Metal, and Mitsubishi Heavy Industry to pay compensation for South Korean citizens who forced to work by Japan during the World War II. This problem then developed into several trade disputes after Japan responded to these demands by imposing export restrictions and removing South Korea from their trade whitelist. South Korea then retaliate by boycotting Japanese products and tourism, also removing Japan from their whitelist. Regardless of the complexity of the problem, this issue stopped escalating after the South Korean Prime Minister and the Japanese Prime Minister have a dialog and then mutually expressed the importance of bilateral relations between the two countries on a bilateral meeting in Tokyo in October 2019. This thesis will explain what factors make this conflict not escalated into a military conflict, even when the dispute is about an important and sensitive issue for both countries. This thesis will focus its analysis on the effect of economic interdependence between South Korea and Japan on the occurrence of political conflict between the two countries in 2017-2019. This thesis uses the concept of causality mechanism to identify the causal relationship between economic interdependence and the occurrence of political conflict. This thesis will use qualitative research methods and retrieve data by means of literature study.
Kata Kunci : konflik politik, sengketa dagang, perang dunia kedua, comfort women, interdependensi ekonomi, Korea Selatan, Jepang