PERAN MIKROBIOM PADA ULKUS KRURIS KRONIS DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
ITRIDA HADIANTI, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K).; Prof. Dr. dr. Y. Widodo Wirohadidjojo, Sp.KK(K),
2021 | Tesis-Spesialis | DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGILatar Belakang: Ulkus kruris kronis merupakan hilangnya seluruh epidermis dan sebagian dermis, atau bahkan mencapai subkutis pada tungkai bawah yang menetap lebih dari enam minggu dan tidak menunjukkan kecenderungan untuk mengalami penyembuhan. Ulkus kronis menjadi salah satu beban pelayanan kesehatan yang besar oleh karena menyebabkan disabilitas dan penurunan kualitas hidup. Penelitian komunitas mikrobiota yang terkait dengan luka sampai saat ini sangat bergantung pada kultur, dimana diketahui metode berbasis kultur memiliki bias yang tinggi dan tidak dapat diandalkan untuk penggambaran mikrobiota secara luas. Pendekatan genomik berbasis sekuesing DNA dapat mengidentifikasi keanekaragaman mikrobiom yang lebih luas dibandingkan dengan menggunakan teknik kultur. Hal tersebut yang juga diharapkan pada ulkus kronis pada penelitian ini. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui disbiosis keragaman mikrobiom antara kulit sehat dengan ulkus pada penderita ulkus kruris kronis Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang melibatkan 9 pasien dengan ulkus kruris kronis. Sampel diambil dari apusan kulit sehat dan ulkus yang kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiom dengan next-generation sequencing pada gen 16S rRNA. Disbiosis diukur dari keragaman filum, keragaman genus, dan keragaman spesies, dilanjutkan dengan penghitungan Indeks Shannon dan Indeks Simpson. Hasil penelitian: Pada tingkat taksonomi filum terjadi dominasi Proteobacteria pada ulkus, sedangkan pada kulit sehat terjadi keseimbangan antara Proteobacteria dengan Firmicutes. Pada tingkat genus, ulkus kronis didominasi oleh genus Pseudomonas, Shewanella, dan Proteus, sedangkan kulit sehat oleh genus Corynebacterium dan Bacillus. Pada tingkat spesies, Pseudomonas aeruginosa merupakan spesies dominan pada sebagian besar ulkus kruris kronis dibandingkan kulit sehat (rata-rata 20,17% vs. 3,06%); sedangkan Bacillus cereus merupakan spesies dominan pada kulit sehat dibandingkan pada ulkus (rerata 11% vs. 0%). Penyakit komorbiditas yang dijumpai mempengaruhi mikrobiom meliputi diabetes mellitus, gangguan vaskular, serta vaskulitis, sedangkan pada 3 subyek tidak didapatkan penyakit komorbiditas. Nilai median Indeks Shannon pada kelompok kulit sehat yaitu 5,603, sedangkan pada kelompok ulkus, yaitu 3,244 (P=0.0007816). Indeks Simpson menunjukkan nilai median pada kulit sehat 0,962 dan pada ulkus kronis 0,8 (P=0.01419). Kesimpulan: Terjadi disbiosis keragaman mikrobiom antara kulit sehat dan ulkus pada penderita ulkus kruris kronis yang ditunjukkan dengan adanya keragaman filum, genus, dan spesies, serta perbedaan Indeks Shannon dan Indeks Simpson
Background: Chronic leg ulcers are defined as loss of the entire epidermis and part of the dermis, or even reaching the subcutis of the lower leg that persists for more than six weeks and does not show a tendency to heal. Chronic ulcers are one of the biggest health care burdens because of the causes of disability and decrease quality of life. Microbiota community research associated with wounds is culture-dependent, where culture-based methods have a high bias and cannot be relied on for a broad depiction of the microbiota. A genomic approach based on DNA sequencing could identify a greater variety of microbiome than using culture techniques, which is also expected in this study. Objective: This study aims to determine dysbiosis state of the microbiome between healthy skin and ulcers in chronic leg ulcer patients. Method: This study was an exploratory study involving 9 patients with chronic leg ulcers. Samples were taken from healthy skin and ulcer swabs then carried out next-generation sequencing on the 16S rRNA gene. Result: At the taxonomic level of the phylum, Proteobacteria predominates on ulcers, while on healthy skin there is a balance between Proteobacteria and Firmicutes. At the genus level, chronic ulcers were dominated by the genus Pseudomonas, Shewanella, and Proteus, while healthy skin by the genus Corynebacterium and Bacillus. At the species level, Pseudomonas aeruginosa was the dominant species in most chronic leg ulcers compared to healthy skin (mean 20.17% vs. 3.06%); whereas Bacillus cereus was the dominant species in healthy skin compared to ulcers (mean 11% vs. 0%). Comorbid diseases that were found to affect the microbiome included diabetes mellitus, vascular disorders, and vasculitis, whereas in 3 subjects there were no comorbid diseases. The median value of the Shannon index in the healthy skin group was 5.603, while in the ulcer group was 3.244 (P = 0.0007816). The Simpson index showed the median value for healthy skin was 0.962 and that for chronic ulcers was 0.8 (P = 0.01419). Conclusion: There is a dysbiosis of microbiome diversity between healthy skin and ulcers in chronic leg ulcer patient as indicated by differences in the Shannon index and Simpson index.
Kata Kunci : mikrobiom, kulit sehat, ulkus kruris kronis, Indeks Shannon, Indeks Simpson, microbiome, healthy skin, chronic leg ulcer, Shannon index, Simpson index