Menegosiasikan Eksotika : Rasialitas, Gender, dan Seksualitas dalam Praktik Kuasa Ketubuhan Pekerja Seks Perempuan di Bali

TEDI ERVIANTONO, Prof. Dr. Haryanto, M.A ; Dr. Nanang Indra Kurniawan, M.A

2021 | Disertasi | DOKTOR ILMU POLITIK

Disertasi ini mengkaji salah satu isu dalam area kajian politik identitas yang melibatkan dimensi rasialitas, gender, dan seksualitas. Dengan mendiskusikan jasa seksual eksotis dalam industri turisme, disertasi ini memproblematisasi eksotika ketubuhan perempuan yang selama ini didominasi pendekatan yang melihat perempuan sebagai objek atau entitas lain yang eksotis dan serba dikontrol atau dikuasai. Pertanyaan mendasar disertasi ini adalah bagaimana berlangsungnya negosiasi eksotika pada industri jasa seksual serta siapa saja aktor dan apa saja institusi penopang yang terlibat dalam praktek-praktek pewacanaannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disertasi ini memanfaatkan pendekatan institusionalisme baru, khususnya teori institusionalisme konstruktivis yang dikembangkan Colin Hay (2006) dengan melihat wacana sebagai elemen penting pembentukan institusi, seperti yang digunakan studi Stephen Bell (2011). Institusionalisme konstruktivis dipilih digunakan oleh penulis karena teori ini menyediakan alat analisis yang mengaitkan interaksi struktur dengan proses, terutama memahami perubahan institusi yang dibentuk dan dipengaruhi beragam wacana yang berlangsung di sekelilingnya. Pemanfaatan frame teoritik institusionalisme konstruktivis pada disertasi ini sejalan dengan pandangan feminis institusional yang menekankan aspek struktur dan agensi, perubahan dan keberlanjutan, inovasi (kreasi), serta pewacanaan. Disertasi ini memanfaatkan pula beberapa konsep relevan, seperti modal erotika dari Catherine Hakim (2010), teknologi tubuh dari Lori L. Fazzino (2013), mimikri dari Homi K. Bhabha (1994), dan politik waktu dari Dibyesh Anand (2007). Studi ini mengambil locus kalangan sub-masyarakat pekerja seks perempuan di Bali. Pilihan kalangan ini karena mereka seringkali memanfaatkan eksotika sebagai elemen penunjang estetik ketubuhan secara terbuka. Alasan penulis memilih Bali sebagai lokasi studi didasari dua alasan. Pertama, konstruksi eksotika di wilayah ini berjalan lama. Dikonstruksikan semenjak masa kolonial Belanda, berlanjut, dan berpengaruh kuat pada praktek sosial masyarakat Bali kontemporer. Bali menjadi proyek eksotika kolonial pertama melalui kebijakan Baliseering yang saat itu menjadi perhatian Kolonialis Belanda serta agen orientalis romantik guna menjaga kebudayaan klasik Bali dari pengaruh luar, terutama Islamisasi dan misi Kristen. Kedua, secara historis dan ekonomi, Bali bergantung pada industri turisme yang perkembangannya bertumpu pada fondasi dan komodifikasi eksotika yang kuat dan berjalan di berbagai rejim kekuasaan. Disertasi ini disusun dari riset yang memanfaatkan koleksi data wawancara, observasi, dan dokumentasi. Informan utama pekerja seks perempuan di Bali, sedangkan informan pendukung pihak yang secara langsung atau tidak langsung dianggap memberikan peluang penciptaan ruang industri jasa seksual, seperti oknum perangkat negara beserta regulasinya, oknum pemangku masyarakat, organisasi masyarakat sipil, serta pemilik industri jasa pariwisata yang tersebar di tiga wilayah yaitu Badung, Buleleng, dan Denpasar. Disertasi ini memberikan kontribusi bagi pengembangan studi terkait eksotika yang selama ini didekati pandangan feminis pasca kolonial atau feminis trans-nasional. Studi ini berdiri pada pandangan feminis institusional yang mengkritik kebutaan gender studi-studi feminis klasik dimana memposisikan eksotika sebagai struktur kaku yang bekerja linier dan serba membatasi aktor. Argumen disertasi ini menunjukkan eksotika senantiasa mengalami perubahan dan keberlanjutan dengan melibatkan keagensian perempuan. Eksotika adalah struktur dan sekaligus proses yang didefinisikan, dikompromikan, maupun digunakan melalui negosiasi yang berlangsung dinamis, politis, berjejaring, mekanis, dan imajinatif. Terdapat peran agensi dan struktur yang berinteraksi membentuk ide-ide terkait eksotika secara berkesinambungan. Penguatan komodifikasi tubuh dalam industri jasa seksual turut mendorong perluasan ruang bagi perempuan mendefinisikan batas-batas baru erotika ketubuhan. Eksotika menyediakan pilihan luas namun sekaligus memberikan batasan terhadap pembentukan erotika ketubuhan. Semakin berhasil menegosiasikan eksotika maka semakin menguat pula kapasitas dirinya memilih sekaligus membentuk beragam erotika ketubuhan di pasar komodifikasi jasa seksual.

This study examined one of the issues in politics of identity involving the racial, gender, and sexuality dimensions. By discussing the exotic sexual services in the tourism industry, this study problematized women bodily exotica dominated by an approach seeing women as objects or other entities that are exotic and completely controlled. The fundamental questions of this dissertation are how the exotica negotiations took place in the sexual service industry, who the actors were, and what the supporting institutions were involved in the discourse practices. To answer those questions, this study utilized a new institutionalism approach, especially the constructivist institutionalism theory by Colin Hay (2006) by discerning a discourse as an important element of institutional construction, as used by Stephen Bell (2011). The constructivist institutionalism theory was chosen because it provides an analytical tool that links the interaction between the structures and processes, especially understanding the institutional changes constructed and influenced by various surrounding discourses. The utilization of constructivist institutionalism theory in this dissertation is consistent with the institutional feminism view that emphasizes structure and agency, change and sustainability, innovation (creation), and discourse aspects. This study also made use of several relevant concepts, such as the erotic capital by Catherine Hakim (2010), body technologies by Lori L. Fazzino (2013), mimicry by Homi K. Bhabha (1994), and chronopolitics by Dibyesh Anand (2007). This study took locus among the sub-community of female sex workers in Bali since they often openly took advantage of exotica as an element supporting the bodily aesthetics. Bali was chosen as the study locus by considering two rationales. First, the exotica construction in this region has been going on for a long time since the Dutch colonial period, and it has a strong influence on the social practices of contemporary Balinese society. Bali became the first colonial exotic project through the Baliseering policy as an agent of romantic orientalist in order to defend the classical Balinese culture from the foreign influences, especially Islamization and Christian mission. Second, historically and economically, Bali depends on tourism industry whose development rests on a strong exotic foundation and commodification running in various power regimes. This study was compiled by interviews, observations, and documentation. The key informants were the female sex workers in Bali, and the supporting informants were the parties directly or indirectly providing the opportunity to create the space for the sexual service industry, such as the unscrupulous state apparatus and regulation, unscrupulous community stakeholders, civil society organizations, as well as tourism service industry owners in three regions, namely Badung, Buleleng, and Denpasar. This study contributes to the development of studies related to exotica approached by the post-colonial feminism or trans-national feminism view. This study along with the institutional feminism view criticizes gender blindness of the classic feminism studies that position exotica as a rigid structure running linearly and completely restricting the actors. This study shows that exotica always change and is sustainable by involving women agency. Exotica is a structure and process defined, compromised, or used by dynamic, political, networked, mechanical, and imaginative negotiations. There are agency role and structure that interact to construct ideas related to exotica on an ongoing basis. The reinforcement of body commodification in the sexual service industry helps encourage the expansion of the space for women to define the new boundaries of bodily erotica. Exotica provides a wide choice but at the same time imposes boundaries on the bodily erotic construction. The more successful the negotiation of exotica, the bigger the capacity to choose as well as to construct a variety of bodily erotica in the sexual service commodification market.

Kata Kunci : Menegosiasikan, Eksotika, Pekerja Seks Perempuan, Institusionalisme Konstruktivis / Negotiating, Exotica, Female Sex Worker, Constructivist Institituionalism