REFORMA AGRARIA: Incompatibility antara Kebijakan Teknokrasi dengan Artikulasi Kepentingan Rakyat

BARID HARDIYANTO, Prof. Dr. Susetiawan, SU; Dr. Arie Sujito, MSi

2021 | Disertasi | DOKTOR ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan utama: Bagaimana proses perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria yang berlangsung di era SBY? Dalam penelitian ini ditelisik pertarungan kepentingan, kontribusi petani dan implikasi yang muncul dari proses perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria. Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografis. Pendekatan etnografis menyingkap penggunaan kekuasaan oleh berbagai macam kelompok orang di berbagai level termasuk didalamnya dasar yang melatarbelakangi lahirnya suatu kebijakan (Springate-Baginski dan Blaikie 2007; Hajer 1995, 2006). Penelitian ini memunculkan beberapa temuan. Temuan pertama memperlihatkan bahwa dalam pertarungan kepentingan terdapat perbedaan menarik antaraktor dalam memahami reforma agraria. Di level masyarakat, reforma agraria dipahami sebagai upaya untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Pada level swasta, reforma agraria dijalankan untuk sekedar menggugurkan tugas sebagai bagian dari aparatur negara, sedangkan pada level negara, reforma agraria digunakan sekedar untuk kepentingan agar dianggap sebagai pemerintahan yang populis. Temuan kedua menunjukkan bahwa petani melalui interaksi pengalaman individu dan kondisi sosialnya serta ragam metode telah berupaya untuk mengambil bagian dalam perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria. Namun demikian, upaya tersebut gagal karena dihambat dan tidak diakomodasi oleh birokrasi negara mulai dari level atas sampai bawah. Temuan ketiga menampakkan bahwa perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria justru berimplikasi buruk bagi petani. Implikasi buruk itu antara lain: pertama, tidak terjadi perubahan dalam mengatasi ketimpangan agraria. Kedua, pembagian lahan tidak diikuti dengan pemberian daya dukung paska redistribusi dan juga berimpilikasi tidak membuat petani sejahtera. Ketiga, terjadi reakumulasi tanah. Keempat, tanah yang telah didapatkan diperjualbelikan. Kelima, adanya ketidakjelasan antara pemilik sertifikat dan lahan garapannya. Keenam, imbas dari ketidakjelasan antara pemilik sertifikat dan lahan garapan membuat pemerintahan desa kesulitan untuk memungut pajak. Ketujuh, secara politik, kasus jual beli lahan ini sangat berpengaruh pada upaya Serikat Tani Merdeka (SeTAM) untuk memperjuangkan kasus tanah lainnya. Ketiga temuan di atas, meneguhkan tesis dalam penelitian ini bahwa terdapat incompatibility/ ketidaksesuaian antara kebijakan teknokrasi pemerintah dengan artikulasi kepentingan rakyat. Reforma Agraria yang pengertiannya Landreform Plus tereduksi hanya sekedar bagi-bagi tanah saja, tidak berbeda sama sekali dengan konsep landrefom pada masa lalu. Faktor ini terjadi karena lingkungan politik yang makin dangkal oleh karena cara pandang politik populis pada saat itu.

This research was conducted to answer the main question "How was the process of policy formulation and implementation of agrarian reform that took place in the SBY era?" This research examines the struggle, the contribution of farmers, and the implications that arise from the policy formulation process and the implementation of agrarian reform. This type of research is a type of qualitative research with an ethnographic approach. The ethnographic approach exposes the use of power by various groups of people at various levels including the basis behind the birth of a policy (Springate-Baginski and Blaikie 2007; Hajer 1995, 2006). This study is several findings. The first finding is that in the struggle for interests there are interesting differences between the factors in understanding agrarian reform. At the community level, agrarian reform is implemented as an effort to make life better. At the private level, agrarian reform is carried out to simply abort duties as part of the state apparatus, while at the state level, agrarian reform is used only in the interest of making the government a populist government. The second finding shows that the experiences of farmers through individual interactions and their social conditions and various methods have attempted to take part in the formulation of policies and the implementation of agrarian reform. However, these efforts failed because they were hampered and not accommodated by the state bureaucracy from the top to the bottom. The third finding shows that the formulation of policies and the implementation of agrarian reform have bad implications for farmers. The bad implications include: first, there is no change in overcoming agrarian inequality. Second, land distribution is not followed by offering post-redistribution carrying capacity and it also implies that it does not make farmers prosperous. Third, there is soil reaccumulation. Fourth, the land that has been acquired is traded. Fifth, there is a lack of clarity between the owner of the certificate and the land under cultivation. Sixth, the impact of the uncertainty between the owner of the certificate and the cultivated land has made it difficult for the village government to collect taxes. Seventh, politically, the land sale and purchase case have had a huge impact on the efforts of the Serikat Tani Merdeka (SeTAM) to fight for other land cases. The third finding confirms the thesis in this study that there is an incompatibility between the government's technocratic policy and the articulation of the people's interests. Agrarian Reform, which means that Landreform plus is reduced to just dividing the land, is not at all different from the concept of land reform in the past. This factor occurred because the political environment was increasingly shallow due to the populist political perspective at that time.

Kata Kunci : Perumusan Kebijakan, Implementasi Kebijakan, Reforma Agraria