INTEGRASI DAN EKSKLUSIVITAS : DILEMA KEWARGAAN MASYARAKAT TIONGHOA MANADO 1950an - 1990an

HENDRI GUNAWAN, Dr. Agus Suwignyo, M.A

2021 | Tesis | MAGISTER SEJARAH

Setelah Indonesia merdeka, orang Tionghoa mengalami berbagai kesukaran atas pengakuan identitas mereka sebagai warga negara Indonesia. Persoalan orang Tionghoa Manado sama seperti komunitas Tionghoa di tempat lain. Mereka dibebani dilema antara integrasi dan ekslusivitas yang tidak sekedar menyangkut kriteria ras, tetapi juga berkelindan dengan status sosial mereka sebagai minoritas. Pada saat menjelang kemerdekaan sikap orang-orang Tionghoa Manado cenderung berada di tengah-tengah, eksklusif, dan menarik diri. Memasuki tahun 1950-an, masyarakat Tionghoa Manado menjadi lebih inklusif dan berbaur dengan masyarakat setempat. Hasil dari penelitian ini adanya gagasan kewargaan dan perjuangan politik komunitas Tionghoa di Manado yang berusaha menyelesaikan integrasi sosial di kalangan mereka sendiri. Mereka menginisiasi untuk membuka pintu komunikasi dengan berbagai kelompok warga penduduk lokal Manado. Respons komunitas Tionghoa di Manado terhadap kebijakan kewargaan pemerintah menunjukkan mereka sepakat untuk hidup berdampingan dan sepakat tentang tata cara adat istiadat mana yang berlaku dengan warga lokal. Kesepakatan seperti itu tidak berlangsung dalam sekejap. Orang Tionghoa Manado telah mengalami lokalisasi sehingga menjadi terpisah dari orang Tionghoa Indonesia yang lebih sulit melebur dengan penduduk lokal pada umumnya. Proses asimilasi dengan penduduk lokal turut diperkuat melalui praktik kewargaan sosial. Keberhasilan partisipasi ini dilakukan melalui saluran keagamaan, seni pertunjukan, olahraga, perkawinan, bahasa, filantropi dan kegiatan organisasi kolektif komunitas Tionghoa dan warga lokal setempat.

The problems of the Chinese-Manadonese are the same as the Indonesian Chinese communities in other places after independence. They run in to many dilemmas between integration and exslusiviy which not only regard to racial criteria, but also related to their social status as a minority. At the time leading up to independence, the attitude of the Chinese-Manadonese tended to be in the middle, exclusive, and withdrawn. Entering the 1950s, the Chinese-Manadonese community became more inclusive and mingled with the local community. The results of this research are the findings of the idea of citizenship and the political struggle in Manado. They trying to complete social integration among themselves, as well as opening the communication with the various groups of local residents who surround them. The response of the Chinese-Manadonese to the government's citizenship policy shows that they agree to coexist and agree on which customary procedures apply to local residents. Such a deal does not last overnight. The Chinese-Manadonese have experienced localization so that they become separated from the Chinese who are more difficult to blend with the local population in general. The process of assimilation with local residents is also strengthened through the practice of social citizenship. The success of this participation is carried out through religious channels, performing arts, educations, politics, sports, marriage, language, philanthropy and the activities of collective organizations of the Chinese community and local residents.

Kata Kunci : Tionghoa, Manado, Dilema, Integrasi, Partisipasi, Praktik Kewargaan