Laporkan Masalah

Dominasi Ulu di Ruang Ilir: Transformasi Sosio-Kultural dalam Kewargaan Budaya di Kota Palembang, 1906-1942

DEDI IRWANTO, Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A.; Prof. Dr. Djoko Suryo

2021 | Disertasi | DOKTOR ILMU-ILMU HUMANIORA

Kajian ini membahas tentang proses mendominasinya orang-orang ulu di ruang ilir ketika transformasi sosio-kultural berjalan dalam pembentukan kewargaan budaya di kota Palembang sebagai salah satu simbol modernitas pada masa kolonial paro pertama abad ke-20. Fokus permasalahan pada periode 1906 ketika Palembang menjadi kota otonom sekaligus melakukan modernisasi sampai berakhirnya masa kolonial, 1942. Modernitas dan urbanitas di Kota Palembang dianggap sebagai penentu dari titik evolusi linier perkembangan warga kotanya bersamaan dengan transformasi konsepsi ruang ilir dan ulu sebagai bentuk kompetisi dan kontestasi proses pengkotaan tersebut. Mengapa ulu mampu melakukan simbolisasi pengkotaan modern di ruang ilir, Kota Palembang? Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah sosio-kultural dengan metode sejarah. Penulisan disertasi ini mengunakan arsip kolonial, surat kabar dan sumber tertulis sezaman lainnya sebagai sumber utama. Sumber sekunder yang relevan dijadikan sebagai pendukung dalam penulisan ini. Disertasi ini mampu membuktikan pemahaman keliru tentang konsepsi ruang ilir dan ruang ulu di Kota Palembang. Selama ini ruang ilir dipahami sebagai identitas ilir semata dengan ruang ulu selalu dilekatkan sebagai marginal dan tradisional. Namun berdasarkan kajian pada proses pengkotaan di Palembang sejak dijadikan gemeente, terjadi berbagai perubahan menarik. Pertama, ulu semakin menggelembung di ruang ilir. Kedua, ulu mampu merebut brain ruang ilir dengan kudeta terhadap ilir dalam hal merebut modernitas. Ketiga, situasi tersebut menyebabkan ulu di ruang ilir mengadopsi semua efek kewargaan kultural, baik lewat dorongan kolonial maupun pembentukan alamiah, dengan melakukan berbagai simbolisasi modernitas kota, sehingga proses pengkotaan di Palembang dapat dikatakan menjadi pusat identitas ulu. Menariknya pada proses pengkotaan tersebut walau terjadi transformasi konsepsi, tampaknya hanya sebuah pergeseran geopolitik ke budaya. Akibatnya, konsepsi kultural dalam pembentukkan warga kota modern boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Kondisi ini menjadi ciri khas budaya urban di Kota Palembang. Oleh karena itu, dapat dikatakan budaya urban ulu di ruang ilir hanya mampu memperlihatkan bangunan bersifat sophisticated cultural dan tidak mampu membangun aliansi politik maupun kultural antara ulu dan ilir secara bersamaan karena prosesnya tidak mengarah pada maturity sebab hanya berupa perubahan kontestasi politik ke budaya yang jejaknya masih terlihat hingga di masa kini.

This study discusses the process of dominating the upstream in the downstream space during the socio-cultural transformation in the formation of cultural citizenship in the city of Palembang as one of the symbols ofodernity in the colonial period in the first half of the 20th century. The focus of the problems in the period 1906 when Palembang became an autonomous city while modernization until the end of the colonial period, 1942. The modernity and urbanity in Palembang are regarded as a definition of the linear evolution of citizen development in conjunction with the transformation of downstream and upstream room conceptions as a form of competition and the contestation of the urban process. Why upstream can symbolization the modern urbanity in the downstream space, Palembang city? The study used a socio-cultural historical approach with historical methods. This study uses colonial archives, newspapers, and other contemporary sources as the primary source. The relevant secondary sources are used as supporters in this study. This dissertation can prove the wrong understanding of downstream and upstream space the conception in Palembang city. During this time the downstream space is understood as a mere downstream identity with the upstream space always attached as a marginal and traditional space. However, based on the study of the urbanity process in Palembang since it became a municipality, there have been various interesting changes. First, the more upstream is present in the downstream space. Secondly, the upstream was able to seize the downstream space brain with a coup against the downstream by taking modernity. Thirdly, the situation causes upstream in the downstream space to adopt all the effects of cultural citizenship, either by colonial impulse as well as a natural formation, by conducting various symbolization of the city modernity, so that the urbanity process in Palembang can be said to be the upstream identity center. Interestingly in the process of urbanity despite the transformation of conception, it appears only a form of turnover from geopolitical to cultural conceptions. Consequently, the cultural conception can be said never to happen. This condition is characteristic of urban culture in Palembang. Therefore, the upstream urban culture in the downstream room is only able to be sophisticated cultural and not able to conduct political or cultural alliances between upstream and downstream simultaneously because the process does not lead to maturity because it is only a contestation change from political conception to cultural conception, which is still visible in the present.

Kata Kunci : Ulu, Ilir, Kewargaan kultural, Modernitas, Ruang

  1. S3-2014-373117-abstract.pdf  
  2. S3-2014-373117-bibliography.pdf  
  3. S3-2014-373117-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2014-373117-title.pdf