RIWAYAT LASKAR SANTRI: ANGKATAN OEMAT ISLAM (AOI) - KEBUMEN, DARI PEJUANG HINGGA MENJADI "PEMBANGKANG" PEMERINTAH (1945 - 1950-AN)
NUR ZAZID HISYAM, Dr. Abdul Wahid, M. Phil.
2021 | Tesis | MAGISTER SEJARAHKajian ini membahas mengenai dinamika perubahan sikap dari organisasi kelaskaran Angkatan Oemat Islam (AOI) sejak tahun 1945 sampai 1950-an. Adapun persoalan utama yang dikaji adalah Mengapa AOI melakukan pembangkangan kepada pemerintah RI padahal mereka sebelumnya berperan penting dalam perang kemerdekaan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kajian ini menggunakan pendekatan sejarah politik dan menggabungkan berbagai sumber; baik arsip, surat kabar, dan sumber lisan penelitian. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa AOI merupakan organisasi kelaskaran yang terbentuk dari elemen santri pedesaan yang juga membawa tradisi pesantren ke dalamnya. Dengan pesantren Somalangu sebagai tulang punggung utamanya, semua gerakan dan sepak terjang AOI senantiasa diwarnai oleh kultur dan tradisi pesantren, termasuk hubungan kyai-santri yang melatarbelakangi keterlibatan AOI dalam pertempuran Surabaya. Penelitian ini juga menemukan bahwa sepak terjang AOI mengalami perubahan drastis sesudah berakhirnya perang kemerdekaan pada tahun 1945. Seiring diberlakukannya program Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra), laskar AOI dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) atau kembali ke pesantren dengan perasaan waswas karena musuh mereka (golongan kiri) masih berkeliaran, bahkan masuk ke dalam APRIS dan Pemerintahan. Meski sebagian dari mereka menerima tawaran program Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra) tersebut dengan menggabungkan diri dalam Batalion Lemah Lanang, tapi tidak sedikit juga yang memilih jalan pembangkangan dengan tetap memegang senjata mereka. Pada 1 Agustus 1950 pertempuran antara AOI dan APRIS tidak bisa dihindarikan walaupun sudah diupayakan beberapa perundingan, termasuk upaya dialog ala santri yang dilakukan Wahid Hasyim, Menteri Agama waktu itu. APRIS dengan otoritasnya yang didasarkan pada UU SOB tetap mengambil pendekatan militer untuk menindak AOI. Akibatnya, laskar AOI dan markas pusatnya di Samolangu hancur lebur. Pasca peristiwa tersebut eks-laskar AOI juga mengalami berbagai tekanan sosial-politik. Meski demikian, mereka mencoba menata kehidupan barunya kembali dengan melanjutkan perjuangan di dunia pesantren di wilayah Kebumen.
This study discusses the dynamic and shifting attitudes of the Angkatan Oemat Islam (AOI) from 1945 to the 1950s. The main issue of this study is why did the AOI resist the Indonesian government after playing and contributing an essential role to the Indonesian Republic during the war of independence? To answer this question, this study uses a political history approach and combines various data sources: archives, newspapers, and oral history. This study reveals that AOI was an organization formed from elements of rural santri which represented the pesantren tradition. Taking Pesantren Somalangu as its headquarters, the entire AOI's movements were strongly influenced by the pesantren's culture and traditions, including the kyai-santri relationship that became the main reason for AOI's involvement in the battle of Surabaya. This research also finds out that AOI's movement underwent drastic changes after the end of war independence in 1945. As the Indonesian government launched the Reorganization-Rationalization (Re-Ra) program, the AOI was forced to choose between joining the Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) or returning to the pesantren, with a suspicion that their enemies (the leftist group) were still around, and even joining APRIS and the Government. Some of the AOI members accepted the offer of the Reorganization-Rationalization (Re-Ra) program by joining the Lemah Lanang Batallion, whereas the rest chose the path of defiance by keeping their weapons and making a defence. This led to an inevitable clash between the AOI and APRIS on the 1st of August 1950. Even though several negotiations had been discussed, including the santri-style negotiation carried out by Wahid Hasyim, the Minister of Religion. The APRIS continued their military actions towards the AOI, exercising their authority empowered by the SOB Law. As a result, the AOI and its headquarters in Samolangu were destroyed. After the incident, the ex-AOI members experienced various misfortunes that were still attached to them after the war. They suffered from various socio-political pressures. However, they tried to continue their new struggle by developing pesantren and Islamic education in Kebumen.
Kata Kunci : Angkatan Oemat Islam (AOI), laskar santri, tradisi pesantren, Re-Ra, pembangkangan, perjuangan baru