Laporkan Masalah

Pola Interaksi Negara dan Kelompok Minoritas : Studi Kasus Kelompok Penghayat Kepercayaan Sapta Darma tahun 2017-2019

Yolanda Mulat Sarira Hangrasawani, Azifah Retno Astrina, M.Ps ; RB. Abdul Gaffar Karim, Dr., S.I.P., M.A. ; Evi Lina Sutrisno, S.Psi., M.A., Ph.D.

2020 | Skripsi | S1 POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Penelitian ini mengulas pola interaksi antara struktur dan agen dengan memusatkan perhatian pada interaksi Negara dengan kelompok Penghayat Kepercayaan Sapta Darma di Indonesia setelah dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada tahun 2017. Sebelum dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Adminitrasi Kependudukan pada tahun 2017, seringkali penduduk atau kelompok minoritas penghayat kepercayaan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Diskriminasi yang dialami membuat kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia termasuk kelompok Penghayat Kepercayaan Sapta Darma mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Adminitrasi Kependudukan guna memenuhi hak hak warga negara yang seharusnya mereka dapatkan. Penulis akan mengkaji tindakan yang dilakukan oleh kelompok Penghayat Kepercayaan Sapta Darma dengan menggunakan pendekatan teori strukturasi Anthony Giddens. Penulis menjelaskan bahwa yang diletakkan sebagai struktur adalah pengabulan gugatan ditulisnya kolom kepercayaan pada KTP pada Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Struktur tersebut merupakan sarana sekaligus hasil dari tindakan-tindakan agensi yang dalam hal ini diwakili oleh Kelompok Penghayat Sapta Darma di Indonesia. Struktur ini kemudian selanjutnya dapat memampukan agensi dalam melaksanakan atau mempertahankan serta mereproduksi praktik-praktik sosial. Adanya keputusan MK mengenai revisi Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada tahun 2017 dalam praktiknya tidak serta merta menghapus diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penghayat Sapta Darma. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku diskriminatif yang dilakukan merupakan sebuah benturan praktik sosial antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dengan adanya revisi UU tersebut, kelompok penghayat kepercayaan Sapta Darma mendapatkan pengakuan dari pemerintah untuk melakukan advokasi agar hak-hak mereka dapat terpenuhi. Setelah dikeluarkannya revisi terhadap UU Adminduk oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017, penulis menemukan bahwa usaha advokasi terhadap aksi diskriminasi oleh penghayat Sapta Darma atas diskriminasi yang dialami masih belum dilakukan sama sekali hingga saat ini. Padahal praktik diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan Sapta Darma masih saja terjadi. Hal ini membuktikan bahwa akar permasalahan pluralisme yang ada di Indonesia belum sepenuhnya tercabut dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

This study examines an interaction pattern between structure and agent. It focuses attention on the state interaction to a group of followers indigenous faiths Sapta Darma in Indonesia after the decree of Indonesian Constitutional Court (MK) about Civil Administration Law in 2017. Before this decree issuance in 2017, the citizen or minority groups of indigenous faiths often received discriminatory treatment. Experiences of being discriminated against made most of the indigenous beliefs followers, including the believers of Sapta Darma, sue legal review towards Civil Administration Law to fulfill citizen���¢�¯�¿�½�¯�¿�½s rights, which supposedly they receive. The researcher in this study will examine actions taken by the group of followers indigenous faiths Sapta Darma using the structuration theory approach conducted by Anthony Giddens. The researcher explains that what classified as the structure is a lawsuit grant of the writing beliefs column in Identification Card (KTP) according to Article 61 Constitution Number 23 in 2006 and Article 64 Constitution Number 24 in 2013 about Civil Administration Law by Indonesian Constitutional Court (MK). This structure is a medium and results of agents���¢�¯�¿�½�¯�¿�½ actions, which, in this case, is represented by a group of Sapta Darma believers in Indonesia. This structure then enables agents to execute or defend and reproduce social practices. The existence of the Constitutional Court's decision regarding the revision of the Civil Administration Law in 2017 in practice does not necessarily erase the discrimination experienced by the Sapta Darma community. It shows that discriminatory behavior is a social practice clash between the majority group and the minority group. With the revision of the Law, Sapta Darma's group of believers has received recognition from the government to carry out advocacy so that their rights can be fulfilled. After the decree revision on Civil Administration Law by Constitutional Court, the researcher finds out that advocacy attempts towards discriminatory actions experienced by Sapta Darma believers have not been made at all to date. However, the unfair practices against them are still going on. It shows that the root of pluralism causes in Indonesia have not been uprooted in the daily life of the citizens.

Kata Kunci : Kelompok minoritas, Penghayat Kepercayaan, Sapta Darma, Teori Strukturasi, UU Adminduk

  1. S1-2020-378705-abstract.pdf  
  2. S1-2020-378705-bibliography.pdf  
  3. S1-2020-378705-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2020-378705-title.pdf